Cinta yang Mengintai di Meja Makan

Setelah upacara penutupan, Aku meninggalkan sekolah dan menyusuri jalan yang biasanya tak ku lewati.

Aku masuk ke sebuah gang untuk melarikam diri dari para siswa yang pulang dan melihat Hino-kun bersandar pada sebuah dinding sambil memegang ponselnya. Dia tersenyum begitu dia melihatku.

“Igarashi-san.”

“M-maaf membuatmu menunggu.”

“Beneran tidak apa-apa. Kalau begitu haruskah kita pergi?”

“Y-ya.”

Aku mengikuti di belakang Hino-kun.

Karena sekolah berakhir pada periode ke empat, Aku bisa menghirup aroma makan siang di distrik perumahan sekitar.

Ada sepasang pasangan lebih tua yang kelihatan membeli makan siang dari toko serba ada, tapi karena ini adalah jalan kecil, tidak ada para siswa.

Hino-kun berjalan dengan tenang, tapi Aku dengan gugup merenungkan bagaimana Aku harus berjalan.

Aku tidak bisa terlalu mendekat atau menyentuhnya, atau mengingatkannya pada apapun yang buruk. Ditambah, ini adalah pertama kalinya Aku pergi ke rumah seorang lelaki. Sendirian. Rintangannya terlalu tinggi.

Tentu saja Aku tahu bahwa tidak akan ada yang terjadi, tapi Aku tetap gugup. Dan karena Aku memasak di dapurnya, Aku tidak bisa mengotorinya.

“Maaf karena tiba-tiba bertanya ini padamu.”

Tiba-tiba, Hino-kun berbalik, wajah kami dekat. Aku dengan cepat mundur. “Kamu tidak perlu terkejut seperti itu…” katanya dengan ekspresi agak sedih sebelum melanjutkan.

“Aku sudah memikirkannya selama beberapa saat. Bahwa Aku ingin kamu datang ke rumahku untuk memasak dan makan di sana. Kemudian Aku akan mencuci peralatan makan dan peralatan masak dan kita akan makan bersama.”

“B-benarkah?”

Bersama.

Pikiranku fokus pada kata itu dan itu membuat detak jantungku meningkat. Aku menunduk untuk menyembunyikan pipiku yang panas, tapi dia memegang bahuku untuk menatap wajahku.

“Aku menyiapkan semua bahan-bahan untukmu. Jadi buatlah apa yang kamu inginkan.”

Dia mengatakannya seakan itu bukan apa-apa, tapi berbelanja pasti sulit baginya. Paling tidak, itu pasti merepotkan dan dia mungkin juga memiliki luka dari insiden pengirimana. Meskipun begitu, dia berbelanja untukku.

“Terimakasih, Hino-kun.”

“Jangan sebutkan itu. Biasanya kamu selalu yang berbelanja, jadi… Demikian juga, terimakasih untuk semuanya, Igarashi-san.”

Hino-kun tersenyum, sama menyilaukannya seperti matahari musim panas. Aku sudah banyak melihatnya tersenyum sebelumnya, tapi Aku tidak pernah banyak memikirkannya sebelum ini.

Tapi hari ini, dadaku terkepal kuat dan Aku berjalan di samping Hino-kun untuk menyembunyikan wajah merahku.

“Nggak mungkin…”

Setelah berjalan melewati beberapa jalan yang tak banyak dikenal, kami menaiki taksi selama empat puluh menit. Dan kemudian kami sampai di sebuah komplek apartemen tinggi.

Ketika pemandangan di luar jendela taksi berubah menjadi perkotaan, Aku punya perasaan bahwa rumah Hino-kun akan gila.

Tapi Aku tak akan pernah bisa membayangkann bahwa rumahnya berada di komplek apartemen tinggi yang hanya pernah kulihat di poster.

Setelah keterkejutan itu, kami masuk ke dalam. Tentu saja rumahnya besar, tapi apa yang benar-benar membuatku terkejut adalah-

“Sistem dapur terintegrasi baru… yang canggih…”

“Hmm, kupikir iya.”

Hino-kun sepenuhnya tenang ketika Aku menatap dapurnya, yang semuanya terbuat dari model terbaru. Aku tidak bisa tenang.

Kamu bisa memasak banyak cara berbeda dengan panggangan itu seperti mengukus dan merebus, dan cerat wastafelnya bisa di keluarkan. Kamu bisa mengatur pancurannya untuk membersihkan sayuran… itu akan bagus untuk digunakan pada noda lumpur. Dapur yang sangat nyaman ini berada di depan mataku.

Rumahku memiliki tiga sumbu biasa ditambah satu sumbu untuk memasak ikan, jadi ini sangat multifungsi! Aku tidak bisa menahan kegembiraanku.

“Luar biasa… ini luar biasa! Ini bisa membersihkan sayuran dengan cepat sekali!”

Aku menjelaskan kegembiraanku pada Hino-kun, tapi dia hanya diam mennatapku. Aku memiringkan kepala. Alih-alih merasa aneh, kelihatannya dia sedang mencoba mengingat sesuatu.

“Ada apa?”

“Oh, maaf. Aku hanya berpikir bahwa Aku suka melihatmu begitu bersemangat, Igarashi-san.”

“Ap-“

“Apa itu buruk?” Hino-kun bertanya setelah melihatku membeku.

Itu tidak buruk tapi itu buruk bagi hatiku. Aku menggelengkan kepalaku dengan cepat dan dia mendekati lemari pendingin.

“Hey, kamu mau minum apa, Igarashi-san? Aku punya teh hitam, kopi, jus, dan banyak minuman lainnya, tapi… Oh, mau lihat lemari pendingin? Kemarilah.”

Aku mendekati Hino-kun seperti yang diperintahkan dan melihat sejumlah besar bahan yang dimasukkan dalam dua pintu. Bahan-bahannya semua berjajar, termasuk sayuran dan huah dan ikan dan daging.

Dengan bahan-bahan itu, Aku bisa membuat jenis makanan rebus dan dibumbui yang dia suka, dan juha makanan Jepang, paella, bouillabaisse, hidangan China, babi asam manis, dll…

Maksudku, Aku bertanya-tanya apakah bahan sebanyak itu akan membusuk…?

“Apa yang ingin kamu makan, Hino-kun?”

“Hmm, Aku tidak yakin. Apapun yang kamu buat enak… tapi, itu mungkin hanya akan menempatkanmu di tempat.”

“K-kalau kamu punya permintaan, Aku ingin mendengarnya. Aku ingin memasak apa yang ingin kamu makan.”

“Kalau begitu… ikan cod. Aku ingin makan ikan cod goreng yang pernah kamu bicarakan sebelumnya.”

Ikan cod goreng, hah? Dia juga juga punya ikan cod. Untuk cod goreng, Aku bisa mengganti kentang dengan taro… Aku bisa menambahkan separuh kol bunga, dan pilaf udang… Dan jika dia ingin menambahkan rasa asam, Aku bisa membuat sup minestrone juga. Saus tartar memiliki terlalu banyak kalori, jadi Aku bisa menggantinya dengan mayonais dengan yogurt…

Aku memilih bahan menu satu per satu.

Aku tidak bisa benar-benar menggoreng si ikan cod, jadi Aku harus membuatnya tanpa menggoreng. Ketika Aku sedang berpikir, tiba-tiba Aku merasakan bangkitnya keraguan.

Kapan… Aku membicarakan tentang ikan cod goreng dengan Hino-kun..?

Aku selalu menghindari membuatkannya makanan goreng. Karena kupikir akan lebih baik bagi model untuk menghindari makanan goreng. Aku belajar memasak tanpa menggoreng kemarin, jadi seharusnya Aku belum pernah mengatakan apapun sebelum itu…

“Igarashi-san?”

Ketika Aku sedang berpikir, Hino-kun menatapku dalam keingintahuan. Mungkin Aku mengatakannya sembari berbicara tentang ikan dan hanya lupa mengenai itu…

“Bukan apa-apa. Aku akan mulai memasak sekarang.”

Ya. Aku yakin Aku membicarakannya ketika Aku sedang lapar. Memikirkannya membuatku sedikit malu. Fokus, Aku mengeluarkan celemek miliku dari tas.

Berdiri di dapur, Aku mencuci tanganku, mendongak, dan membuat kontak mata dengan Hino-kun. Dia menatapku dengan sikunya berafa di atas meja di seberang meja.

“Apa Aku bisa membantu sesuatu, Igarashi-san? Atau Aku hanya akan menghalangi?”

“Tidak tidak, kamu nggak perlu membantu. Bukankah kamu punya pekerjaan malam ini? Dan kamu membayarku untuk ini.”

“Kalau begitu, apa kamu keberatan kalau Aku melihat?”

“Ap-“

“Aku ingin melihatmu memasak. Atau itu akan mengganggu?” Hino-kun bertanya dan duduk di kursi makan di sampingnya.

“I-ini mungkin tidak akan semenarik itu, tapi kalau kamu mau…”

“Makasih. Itu membuatku benar-benar bahagia.”

Melihat senyum kekanakan Hino-kun membuat hatiku berdetak dengan nyaring. Aku dengan cepat berbalik dari dia dan mulai fokus pada mempersiapkan makanan.

Pertama adalah nasi. Aku membersihkan nasi untuk penanak nasi dan menambahkan air kurang sedikit saja dari jumlah yang dibutuhkan. Aku memasukkan udang kupas beku, kaldu, campuran sayuran, dan potongan kol bunga. Aku mengatur untuk dimasak dengan cepat dan menekan start.

Mungkin sebaiknya membuat makanan ringan seperti sandwich untuk dimakan sambil menunggu ini selesai…?

Aku melirik pada Hino-kun dan melihat dia menatap lurus padaku. Itu terasa seakan dia bahkan tidak mengedip. I-ini sulit untuk bekerja seperti ini. Aku gugup, tapi hatiku juga berdetak kencang karena perasaan lain selain kegugupan.

…Bagaimanapun, Aku harus fokus memasak.

Aku berbalik ke lemari pendingin dan mengeluarkan beberapa sayuran. Aku dengan cepat memotong wortel, bawang, terong, dan tomat sebelum melempar semuanya ke dalam sebuah mangkuk. Aku membungkusnya ringan dan meletakkannya dalam microwave.

Ketika itu sedang dimasak, Aku memasukkan minyak zaitun dalam sebuah panci dan mulai memasak gading babi asap yang diiris tipis. Aku menambahkan sayuran setelah itu selesai dimasak ke dalam microwave juga. Selanjutnya, Aku melelehkan kaldu dalam air panas sebelum menuangkan itu juga ke dalamnya. Setelah membumbuinya dengan garam dan lada untuk rasanya, minestronenya selesai. Aku menutup tutup panci dan membiarkannya mendidih dengan api kecil.

Dan kemudian, hidangan utama. Ikan cod goreng.

Aku memotong ikan cod dan menambahkan kecap dan jahe parut untuk mempersiapkannya. Kemudian, aku mengayak tepung kue, susu dan telur kocok dalam sebuah mangkuk.

Aku juga menambahkan garam, lada, cabai, paprika, semua rempah, dan kaldu.

Begitu rempahnya tersebar rata, Aku mencelupkan ikan codnya ke dalam campuran itu dan meletakkannya di baki di atas kertas memasak.

Aku memotong taro berbentuk kentang goreng, menaburinya dengan tepung kentang, garam, lada, dan meletakkannya di atas nampan di sekitaran ikan cod. Kemudian Aku memasukkannya dalam oven.

Aku akan memanggang nasi pilaf setelah itu terkukus untuk beberapa tingkat.

Saus adalah langkah terakhir. Dalam sebuah mangkuk, Aku mencampurkan yogurt, sedikit saja mayonais, potongan acar, kubis, dan pasta. Dan saus tartarnya selesai.

Aku meletakkan saus tartar itu di dalam sebuah wadah dan ketika Aku menunggu penanak nasi dan ovennya selesai, Hino-kun mendekatiku di saat yang tepat.

“Sekarang kita harus menunggunya matang?”

“Yep.”

“Baiklah… Kalau begitu apa kamu ingin melihat semua peralatan di sini?”

Dia menarik terbuka sebuah laci di dapur. Dari laci kaca, kuali, cetakan kue berbentuk aneh, dan peralatan memasak yang selalu kupikirkan untuk kubeli sebelumnya, tersimpan dengan teliti.

“Woah…”

“Kamu bisa menggunakan apapun di sini, bukan hanya yang ada di laci ini.”

“Eh, a-apa itu tidak apa-apa? Itu kelihatan mahal…”

“Kalau itu kamu, maka nggak papa. Gunakan sesukamu. Lagipula Aku hanya menggunakan panci.”

Kami menatap tempat yang sama ketika Hino-kun berbalik padaku dan wajah kami mendekat. Meskipun kami tidak bisa berdekatan. Aku segera memberi jarak di antara kami, hanya untuk dia dekatkan lagi.

“Kenapa kamu menghindariku?” Tanya Hino-kun dalam nada kecewa, dan suara tidak puas. Aku berpaling, tidak yakin bagaimana meresponnya, ketika dia memegang lenganku.

“Apa kamu membenciku?”

Matanya kelihatan memerangkapku ketika dia mendekat dan lebih dekat. Aku langsung mencoba untuk mundur, tapi tidak bisa karena dia memegang lenganku.

Dalam responnya, matanya membesar dan Aku merasakan ketakutan naluriah.

“T-tidak, i-itu tidak benar. Aku dengar kamu tidak suka dekat dengan orang.”

“Dari siapa?”

“S-seorang lelaki dari kelas lain.”

“Kenapa? Apa dia seorang kenalan? Seorang teman? Apa kamu terlibat dengan lelaki dari kelas lain? Bagaimana? Kenapa? Siapa? Kamu nggak punya kerabat lain di SMA di sekitar sini, kan?”

Hino-kun menanyakan pertanyaan dalam runtutan cepat tanpa ekspresi. Seperti sebuah interogasi. Aku segera mulai berbicara tentang apa yang terjadi selama gimnastik.

“S-saat gimnastik, Aku mendengar beberapa cowok membicarakanmu, dan bagaimana kamu menghindari dekat dengan orang lain, jadi kupikir, kamu pasti nggak suka berdekatan dengan orang lain, jadi Aku tidak membencimu. Aku khawatir karena kita banyak bersentuhan saat aku menyerahkan bekal padamu.”

“Hah…? Kamu menghindariku karena kamu pikir Aku tidak menyukainya?”

Melihatku berbicara dengan setengah panik, Hino-kun menanyakan pertanyaannya dalam suara menenangkan, namun dia kelihatan seakan dia ingin menangis. Aku dengan takut mengangguk dan dia melepaskan lenganku dalam kelegaan.

“Kamu nggak perlu mengkhawatirkan sesuatu seperti itu, Igarashi-san. Itu hanya hal yang mereka karang karena mereka iri padaku.”

…Iri? Kalau begitu apakah mereka mengada-ada hal tentang dia yang dingin karena kecemburuan juga?

“Itu sering terjadi. Aku pernah dituduh merebut pacar orang bahkan jika Aku nggak pernah berbicara pada perempuan itu. Dan kemudian kalau Aku mengabaikan seseorang, mereka bilang Aku punya kepribadian terburuk. Dan selalu ada rumor aneh beredar.”

“Ka-kalau begitu, apa kamu nggak suka disentuh…?

“Iya. Kamu nggak perlu mengkhawatirkannya, Igarashi-san. Nggak masalah kalau kamu menyenggolku. Kamu bisa menyentuhku sesukamu. Kamu bahkan bisa meninju perutku seperti sebuah karung berisi pasir. Aku sangat kekar jadi Aku mungkin bisa menangani puluhan tinjuanmu.”

Hino-kun kembali bersikap lembut, seakan suasana tegang sebelumnya hanyalah sebuah ilusi. Ketegangan meninggalkan tubuhku karena mendengar nada kekanakkannya.

“Apa-apaan, Aku nggak akan meninjumu…!”

“Jangan tertawa, Aku serius. Nggak papa kalau kamu menendangku atau menusukku dengan jarum. Kamu bahkan bisa melemparku ke beranda. Seperti luar biasa!”

Kami menertawakan usaha melucunya. Dia sedikit menakutkan sebelumnya, tapi Aku lega mendengar dia tidak membenci orang mendekatinya. Tapi mengatakan Aku bisa melemparkannya ke beranda… seperti biasa, idenya berlebihan.

Pada saat yang tepat Aku berbalik menatap penanak nasi dan oven, berpikir ini hampir saatnya selesai, alat pengukur waktu berbunyi.

Aku meletakkan makanan yang sudah selesai di atas meja makan dan duduk di seberang Hino-kun. Berjajar di atas meja adalah tatakan berwarna biru dan oranye yang dia beli di toko umum, dengan Aku yang mendapatkan biru dan Hino-kun yang oranye.

Sebuah vas dengan buket menghiasi tengah meja. Mungkin ini adalah karena interior bergaya yang tidak terlalu hidup, tapi makanan yang kubuat dan berjajar itu terlihat seakan keluar dari restoran.

“Terimakasih makanannya.”

Menepuk tangannya dengan tiba-tiba, Hino-kun melirik makan malam di atas meja dengan perhatian penuh.

“Ini terlihat sangat lezat. Dan baunya juga harum.”

“A-aku memikirkan tentang kalori dan sebagainya, setengah pilafnya adalah kol bunga dan Aku tidak benar-benar menggoreng ikan cod-nya, um, jadi ini seharusnya tidak masalah untuk di makan…!”

“Yay! Kalau begitu aku akan makan banyak,” ujarnya dan memakan ikan cod goreng. Aku menyambar sumpitku seakan mengikutinya ketika dia menatapku dengan mata melebar.

“Mm… Apa kamu benar-benar menggoreng ini tanpa minyak? Apa ini beneran ikan cod?”

“Iya.”

“Ini seperti ayam goreng. Enak…! Dan saus tartarn ini juga memiliki rasa yang lembut seperti itu.”

“Aku memakai yogurt bukannya mayonais.”

“Heh~ ini menyegarkan. Aku suka.”

When I saw Hino-kun eating cod with a smile on his face, my chest felt tight and I got hungry. I tried the taro potatoes, the crispy texture overlapping with the unique thickening. I was relieved I was able to cook it well. He began burrowing into the pilaf.
Ketika Aku melihat Hino-kun memakan ikan cod dengan senyuman di wajahnya, dadaku terasa sesak dan Aku lapar. Aku mencoba kentang taro, tekstur krispinya tumpang tindih dengan kekentalan yang unik. Aku lega Aku bisa memasaknya dengan baik. Dia mulai ke pilaf.

“Aah… Rasa ini… Ini enak sekaliiii… kol bunga dan nasinya cocok satu sama lain. Aku senang kamu memikirkan kalorinya. Apakah boleh kalau Aku menambah porsi ini lagi? Apa kamu membuat lebih?”

“Ya. Aku membuat banyak jadi masih ada sisa. Aku meletakkannya di lemari pendingin untuk sekarang, jadi kamu bisa memakannya kapanpun.”

“Yay! Makasih, Igarashi-san.”

Melihat Hino-jun tersenyum lebar padaku benar-benar… menyakitkan. Ini tidak baik. Hatiku lebih sakit daripada sebuah sakit yang sederhana.

Aku tidak sebegitu memikirkannya saat musim semi, tapi perasaan apakah ini? Ini menyakitkan. Ini sakit. Aku mengalihkan mataku darinya dan ke minestrone-ku. Supnya menuruni tenggorokanku dan memenuhiku dengan kehangatan. Karena hatiku sudah tenang sedikit, Aku menatap lagi padanya untuk melihatnya meminum minestrone-nya dengan cara yang sama.

“Aku melihatmu meminum minestrone-nya jadi kupikir Aku akan mencobanya juga.”

Tolong berhentilah. Termasuk melihatku dengan mata menengadah itu. Apapun, semuanya. Aku memegang sendokku dengan erat dan Hino-kun menyentuh tangan yang sama itu.

“Kamu tahu, Aku tidak becanda, tapi belakangan, makan bersama dengan orang lain selain dirimu itu menyakitkan.”

“Apa ada hal buruk lainnya terjadi…?”

“Nggak. Tidak ada yang terjadi, tapi bahkann kateringpun sulit.”

“Katering…”

Bukankah itu… ketika dia mendapatkan makan saat bekerja? Seperti, apakah dia mendengar bahwa karyawan itu akan datang…? Jika makan adalah hal menyakitkan bahkan ketika dia di tempat kerja, itu berarti dia masih belum selesai keterkejutannya dari karyawan yang mengambil fotonya secara diam-diam.

Kebalikannya dengan kegelisahanku yang bertambah, dia tersenyum cerah.

“Kamu luar biasa, Igarashi-san. Kamu bisa dengan mudah membunuhku… Itu akan menjadi sebuah kejahatan sempurna.”

“Eh-”

Aku terkejut dengan perubahan topik yang tiba-tiba. Tapi kendati topik yang dia katakan berbahaya, dia memiliki wajah yang sangat polos seorang anak meminta seseorang membelikannya mainan.

“…A-Aku nggak akan pernah bisa… m-membunuhmu… Dan aku tidak akan pernah melakukannya!”

“Kamu bisa. Sekarang ini Aku nggak bisa makan selain makanan yang kamu buat. Jadi kalau kamu berhenti membuatkanku makan, Aku akan mati kelaparan, tanpa keraguan.”

“M-mati kelaparan…”

“Kalau kamu meninggalkanku sendirian selama sekitar setengah tahun, bukankah Aku tidak bersisa kecuali tulang? Kupikir itu akan menjadi berita. Maka karena ruangan ini akan dilabeli sebagai tempat kejadian, kamu mungkin bisa membelinya dengan murah.”

Hino-kun terlihat serius. Dia menunjuk karpetnya, dan pikiran tentang dia berbaring lemah di sana dengan matanya tertutup membuatku takut. Tapi dia mengatakan hal menakutkan dengan rasa semangat seperti, “Kalau kamu mau membunuhku, kamu selalu bisa melakukannya.”

“A-aku nggak akan! Aku tidak akan pernah melakukan sesuatu penuh kebencian seperti itu.”

“Itu tidak ada hubungannya dengan rasa benci. Itu bisa saja hanya karena Aku terlalu menyita waktumu, Igarashi-san. Aku juga harus membayar dengan harga yang masuk akal. Kamu punya hak untuk membunuhku kalau kamu nggak suka padaku.”

“Hi-Hino-kun…!”

“Haha, kamu nggak perlu berekspresi butek seperti itu, Igarashi-san.”

Aku merasa suara lembutnya melembutkan letehangan di udara.

Aku tertipu karena dia terlihat begitu serius. Aku sangat terkejut. Aku benar-benar tertegun bahwa dia membicarakan sesuatu seperti itu.

Aku tidak terlalu memahaminya dengan baik, tapi kemampuannya menggunakan kata-kata sendiri untuk meyakinkan orang lain adalah sebuah pertunjukan dari kemampuan aktingnya yang luar biasa.

“Jangan bercanda seperti itu… Kamu benar-benar mengejutkanku.”

“Maaf, maaf… Tapi Aku nggak bercanda.”

“A-aku akan marah kalau kamu terlalu banyak menggodaku.”

“Ups. Aku tidak akan ingin kamu menolakku karena mengulanginya.”

Aku lega melihat Hino-kun bercanda. Itu buruk untuk hatiku, tapi Aku benar-benar menikmati duduk di meja makan dengannya. Aku bisa melihatnya makan makanan enak juga.

Aku mengatur ulang sendokku untuk menyembunyikan rasa maluku dan melanjutkan makan.

Aku berjalan dengan Hino-kun di jalan berjajar oleh bangunan kantor dan lampu jalanan.

Ada kerumunan karyawan kantor pulang ke rumah di sekeliling kami, tapi mungkin karena ini redup, mereka kelihatannya tidak menyadari atau peduli dengan Hino-kun.

Itu adalah sore hari ketika kami selesai makan siang. Karena dia pergi bekerja di malam hari, Aku membuatkannya onigiri untuk dibawa dengannya.

Awalnya Aku hanya membuatkan beberapa untuknya, tapi setelah dia tak hentinya menanyakan porsiku, aku juga membuat beberapa untuk diriku.

Jadi Aku punya onigiri di tasku sekarang ketika Aku mengikuti Hino-kun. Dia menawarkan untuk mengantarkanku pulang seakan itu adalah faktanya, tapi Aku merasa ini adalah hampir saatnya kami berpisah. Kami hampir sampai di stasiun dan pasti akan ada lebih banyak orang di sana.

“Hei, Hino-ku-“

“Bukankah bulannya indah, Igarashi-san?”

Hino-kun berbalik dan menatap ke langit. Bulannya mengambang di langit, warnanya kuning telur.

“Iya.”

“Aku senang Aku bisa melihatnya hari ini…”

Suara kesepiannya membuat dadaku mengencang. Aku benar-benar aneh akhir-akhir ini. Jantungku mulai berdetak dengan aneh bahkan ketika Aku tidak sedang melihat Hino-kun makan. Mungkin Aku benar-benar sakit. Aku harus pulang sendiri.

“Di sini saja nggak papa. Maaf karena-“

“Nggak bisa. Aku tidak akan suka jika sesuatu yang buruk terjadi padamu, jadi Aku akan mengantarmu sampai benar-benar selamat.”

Tidak, Aku tidak bisa menyalahpahaminya. Dia hanya mengkhawatirkan keselamatanku, dia tidak punya niat lain. …Niat? Bagaimana mungkin Aku menyalah-pahaminya? Ketika Aku dipenuhi keraguan, Hino-kun tertawa dengan dalam.

“Yeah, tempat paling berbahaya mungkin berada di sampingku, sih.”

“Eh?”

“Aku sebenarnya membawa pisau. Kamu tidak pernah tahu apa yang orang pikirkan atau sembunyikan, kan? Orang jahat bisa ada di mana saja.”

Aku sudah melihat banyak senyum Hino-kum sebelum ini. Tapi mungkin ini karena cahaya dari bulan bersinar padanya, senyumnya terasa berbeda sekarang. Dia menyentuh rambutku, masih tersenyum. Sentuhannya tidak terasa seperti tepukan dan lebih seperti dia menjambak rambutku. Aku tidak tahu bagaimana meresponnya.

“Ada orang-orang melakukan hal jahat yang kamu tidak ketahui di belakangmu, Igarashi-san. Mereka lebih dekat dari yang kamu pikirkan.”

“Apa…?”

“Kamu tahu, meski klub basket bersikap baik sekali, mereka ditangguhkan tahun ini. Tak peduli betapa banyak mereka mencoba memperbaiki hal-hal dari luar, kalau kamu mempercayai mereka, maka…”

Hatiku berdebar keras. Tapi ini kelihatannya berbeda dari sebelumnya, seperti hal lain yang tercampur.

“…selesai.”

Hino-kun melepaskan rambutku dengan, “Haruskah kita pergi?” dan menarik lenganku. Pada akhirnya, Aku tidak bisa berpisah dengannya lebih awal dan dia mengantarku sepanjang perjalan ke stasiun.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected.

Options

not work with dark mode
Reset