Keesokan harinya setelah Hino-kun memberiku sepuluh ribu yen. Aku duduk di sebuah bangku menunggunya di sebelah pintu yang ia tunjuk.
Sakura yang mekar sempurna di tanah membentuk sebuah karpet pink dan pohonnya terlihat kesepian karena tidak ada yang mengagumi pemandangan di halaman yang tersebar dimana-mana itu.
Mungkin ini sepi, tapi mungkin ini adalah hal bagus karena Aku bertemu dengan Hino-kun hari ini. Akan buruk jika ada rumor aneh mulai menyebar jika seseorang melihatku memberinya sebuah bekal.
Aku mengkerut kecil dan mengatur ulang genggamanku pada tas makan siang yang lebih besar yang sedang kupegang.
Bekal yang kubuat dengan sepuluh ribu yen adalah jamur okowa, roti isi daging dengan okara, sepasang roti gulung, acar sayuran musim semi, dan okara dengan prem dan nameko.
T/N : aku sebut Roti gulung pasangan dari teks inggrisnya namanya parent-child roll
Kemarin Aku berkeliling supermarket, penjual sayuran, toko ikan, penjual daging, dan toko buku, sebelum akhirnya Aku memutuskan untuk memasak seperti biasa saja.
Aku memikirkan memasak seperti seorang profesional, tapi Aku tidak bisa saja memberikan makanan yang masih kupelajari untuk menyempurnakannya kepada seseorang. Kurangnya konsentrasi bahkan untuk makanan yang paling sederhana akan membuat kegagalan total! Sesuatu seperti itu.
Lagipula, Hino-kun harusnya sudah tahu bahwa Aku bukanlah seorang profesional. Jadi Aku memutuskan untuk memasak seperti biasa dan mengembalikan kembaliannya.
Aku menghitung kalori dan nilai nutrisi. Aku membuatnya dengan memikirkan pertimbangan tersebut, tapi Aku khususnya khawatir mengenai hidangan utama, nasi.
Aku tidak yakin apa Aku harus menaburkan biji wijen hitam, yang sudah kupanggang di wajan untuk mengeluarkan aromanya, atau meletakkan sepotong acar prem di tengah nasi putih lembut, atau menaburkan serpihan bonito dibumbui kecap dan gula di atas permukaan dangkal nasinya, menaruh selembar nori, dan menumpuk nasinya di atas.
Setelah banyak pertimbangan, Aku memutuskan dengan campuran nasi dan jamur… tapi kemudian sebuah masalah baru muncul: apakah harus membuatnya lembut atau tidak.
Bahannya adalah jamur maitake, jamur shimeji, dan keju.
Aku tidak punya waktu untuk membuat nasi, jadi Aju memotong beberapa kue beras, mencampurnya bersama, dan membuat kue beras sederhana.
Untuk membuat hamburger okaranya lembab, Aku menambahkan mayonais dan parutan daikon ketika Aku mencampurkan okara dan daging cincang. Aku memasukkan tomat potong untuk rasa manis dan akar teratai agar kenyal.
Untuk roti gulung pasangannya, aku merebus bawang di dalam mentsuyu sampai berubah kekuningan, kemudian Aku memotong paha ayam dengan rata dan merebusnya sampai airnya hilang, terakhir menambahkan capuran telur dan memanggangnya.
Butuh waktu lebih untuk memasaknya ketimbang telur dadar biasa, tapi rasa manis dan asam dari telur dan daginganya luar biasa. Jadi Aku membuat hidangan pendampingnya acar sayuran dan prem yang menyegarkan.
Sedangkan untuk kotak makannya sendiri, Aku menemukan kotak plastik dan kertas sekali pakai di toko umum dan menggunakannya.
Total harga kotak bekal, sumpit, dan bahan-bahan secara kasarnya adalah 1500 yen.
Jadi aku meletakkan balik sisa 8500 yen ke dalam amplop kemarin dan memegangnya. Hari ini Aku akan memberikannya bekal miliknya, mengembalikan uangnya, dan pergi. Dan kemudian Aku akan menemukan suatu tempat untuk makan siang.
Aku merasa gelisah menikirkan bahwa seseorang dapat melihat kami atau memotret atau sesuatu.
Hino-kun berjalan keluar dari pintu masuk ketika Aku sedang membayangkan hal itu. Dia bersedekap dan memakai sweater berwarna abu tua, tidak seperti blazer kemarin.
Hari ini lebih hangat dari biasanya, jadi Aku juga memakai sweater, tapi Aku tidak tahu dia memakai warna itu. Dia absen karena pekerjaan di pagi hari. Aku segera berdiri dan dia tertawa ketika Aku membungkuk.
“Kamu nggak perlu membungkuk. Lebih ke, Aku yang harusnya melakukan itu.”
“Oh, um, ini, Hino-kun.”
“Terimakasih. Pasti sulit membuat makan siang untuk dua orang, tapi Aku senang bahwa kamu melakukannya.”
Wajah Hino-kun meloloskan senyuman ketika Aku menghampirinya dan mengulurkan bekalnya. Itu membuatku bahagia melihatnya bahagia. Aku membungkuk lagi dan pergi ketika dia menyambar pergelangan tanganku.
Aku dengan refleks mundur selangkah karena lenganku tiba-tiba di pegang, tapi Hino-kun melangkah mendekat.
“Apa kamu punya rencana lain?”
“Tidak…”
“Kalau begitu tidak bisakah kita makan bersama? Aku ingin makan sambil mendengarkan bagaimana kamu membuatnya, tapi apakah itu buruk?”
Hino-kun memiringkan kepalanya, tapi Aku hanya kebingungan. Dia memintaku membuatkannya makanan karena dia tidak suka dikerubungi oleh orang-orang. Jika dia ingin tahu bagaimana pembuatannya, Aku bisa saja menuliskannya pada selembar kertas. Ketika Aku sedang merenungkan apa yang harus dilakukan, dia menatap kotak makan siang yang kupegang.
“Sepertinya kamu punya bekalmu sendiri. Ayolah, Aku tahu sebuah tempat rahasia yang bisa kita datangi.”
“Ap-“
Hino-kun mulai berjalan sembari masih memegang tanganku. Ini akan berbahaya untuk dilihat seperti ini. Menatap ke sekitar, tidak ada siswa lain di sini, tapi tidak ada jaminan ini akan tetap seperti itu, jadi Aku mengikutinya dengan gelisah.
◇
“Ini dia.”
Kelas dimana Hino-kun membawaku ke sana, berada di lantai atas gedung khusus – yang termasuk dengan laboratorium-laboratorium dan ruang kelas memasak, terpisah dengan gedung utama. Die mengeluarkan kunci dari sakunya dan membuka pintu dengan gerakan terlatih.
“Selamat datang.”
Dalamnya terlihat seperti suatu ruang kelas biasa, tapi bangku dan mejanya lebih sedikit dibanding kelas kami. Apakah ruangan ini digunakan untuk penyimpanan? Hino-kun mengunci pintu di belakang kami dan bahkan menutup tirai di pintu jendela sebelum berbalik.
“Kadang-kadang Aku pergi lebih dulu atau telat karena pekerjaan, kan? Itulah kenapa Aku mendapatkan kunci ruang tunggu sementara.”
Ada saat-saat dimana Hino-kun mungkin tidak akan ada di kelas. Hari ini dia tidak muncul sampai periode ke tiga dan para gadis di kelas ribut dalam kegembiraan atas kedatangannya. Tapi jika dia punya tempat seperti ini, kenapa dia makan di kantin sebelum ini? Ketika Aku sedang merenungkan, dia memutar kursi di sekitar, jadi dua kursi menghadap ke meja yang sama.
“Duduk di sini.”
“Oh, maaf. Dan terimakasih.”
“Jangan mengatakannya.”
Dia duduk dengan senyuman puas dan mulai membuka bungkus bekalnya. Jari-jari indah yang hampir terlihat palsu itu memegang tutup kotak dan membukanya.
“Wow, ini dikemas dengan begitu rapih. Warna nasi masaknya juga cantik… Kamu bahkan menancapkan cukit pada sayurannya.”
“Iya.”
Aku tidak bisa berbicara melewati ketegangan ketika Aku melihat ekspresi Hino-kun ketika dia menghembuskan nafas. Hatiku terasa seperti berputar… Sebelum ini, biasa saja, tapi sekarang terasa seperti ketika Aku melihatnya makan kue muffinku di hari kelas memasak.
Ketika Aku membuka kotak bekalku dengan sedikit rasa sakit di hatiku, dia diam-diam menangkupkan tangan.
“Kalau begitu, terimakasih untuk makanannya.”
“T-terimakasih untuk makanannya.”
T/N: Ini mungkin maksudnya semacam kayak berdoa gitu… kayak di Korea juga ada kan…
Aku menangkupkan tangan dengan tergesa. Aku melihat Hino-kun memisahkan sumpitnya dan mulai makan telur dadar dulu. Matanya kelihatan seperti mata polos anak kecil dan Aku bisa merasakan keteganganku bertambah.
“Ada bahan-bahan di dalam telur dadarnya…”
“I-iya. Sejenis… sepasang roti gulung.”
Dia bahkan kelihatan lebih tertarik dan menyelesaikan telur dadar itu dalam satu gigitan. Kemudian dia dengan cepat tersenyum.
“Delicious. You included the meat and onions inside. You said it was parent-and-child roll… so like a parent-and-child bowl?”
“Enak. Kamu memmasukkan daging dan bawang ke dalamnya. Katamu ini adalah roti gulung pasangan… jadi seperti parent-and-child bowl?”
T/N: parent child bowl itu sepertinya untuk menyebut suatu hidangan yang contohnya terbuat dari Ayam dan telur, kan bahannya induk sama anak tuh…
“Iya.”
“Kupikir kamu akan mengatakan sesuatu yang buruk ketika kamu membicarakan roti gulung pasangan. Tapi kelembutan telur dan rasa dagingnya enak.”
“A-aku hanya membumbuinya dengan mentsuyu.”
“Bukan itu saja. Jumlah garam yang kamu tambahkan itu sempurna. Tiap kali aku menuangkan kecap, Aku mengacaukannya dan entah menambahkan terlaliu banyak atau terlalu sedikit. Kamu luar biasa, Igarashi-san.”
“Nggak, itu bukan apa-apa, hahaha.”
Aku bisa melihat bahwa Hino-kun tidak akan berhenti menggerakkan sumpitnya, jadi Aku memakan jamur okowaku karena Aku juga lapar. Dan kemudian dia juga mulai makan jamur okowa.
“Yap, ini juga yang terbaik… Rasa lembutnya menenangkan… Aku ingin lagi…”
Gerakan Hino-kun sangat halus ketika dia memuji makananku berkali-kali sambil makan okowa. Melihatnya makan begitu terasa menyegarkan, dan aku bersyukur dari dasar hatiku bahwa Aku bisa membuat ini untuknya. Aku ingin membuatkannya lagi jika memungkinkan. Aku terkesiap ketika Aku menyadari kemana arah pikiranku. Kemudian Aku menyadari bahhwa Hino-kun makan hamburger ketika dia berseru, “Ada akar teratainya!”
“Aku suka ini. Akar teratai di dalamnya juga enak.”
“Yea, karena setengahnya adalah okara, jadi Aku berpikir Aku akan mencoba membuatnya kenyal.”
“Kamu pasti memikirkan tentang nilai nutrisi ketika menambahkan okara. Terimakasih. Ini adalah pertama kalinya Aku makan makanan enak seperti ini.”
Hino-kun kelihatan berbicara secara tulus. Meskipun dia pasti sudah makan makanan yang lebih enak tiap hari. Aku merasa pipiku memanas karena kata-katanya yang penuh semangat.
Aku harus makan. Aku harus fokus pada kotak bekalku dan makan. Aku berpindah pada okura dan prem ketika dia mengangkupkan sumpitnya.
“Prem, bonito, dan nameko? Enak. Dimana kamu belajar masak, Igarashi-san?”
“Tidak… Aku hanya mencoba berbagai hal…”
“Apa kamu mengawetkan ini sendiri, Igarashi-san?”
“Iya, dengan cuka sushi dan madu…”
“Aku mengerti. Ini juga manis dan enak. Apa yang harus kulakukan? Kupikir Aku nggak bisa makan apapun dari tempat kerja atau katering lagi setelah merasakan ini.”
“Tidak masalah. Cuka sushi dan madu bisa dibeli dimana saja dan katering pasti akan terasa lebih enak karena dibuat oleh para profesional.”
Aku tertawa untuk menyembunyikan pipiku yang hangat, tapi Hino-kun menatapku tepat di mata, tatapannya tajam.
“Itu tidak benar.”
Matanya memiliki keyakinan kuat. Aku tidak tahu bagaimana meresponnya, tapi Aku menemukan bahwa Aku tidak bisa mengalihkan tatapanku. Dia lanjut berkata.
“Makananmu sangat enak. Sepanjang waktu Aku makan, Aku mimikirkan betapa senangnya Aku karena Aku meminta ini darimu.”
“T-terimakasih.”
Aku dengan gugup bertemu dengan tatapan Hino-kun dan kemudian menundukkan kepalaku. “Jangan mengatakannya,” dia merespon singkat dan lanjut memakan bekalnya dalam kegembiraan.
Makan bersama Hino-kun itu buruk untuk hatiku.
Aku merasa seperti Aku bisa agak mengerti para gadis yang dengan putus asanya mengejar Hino-kun dengan mata berkilau.
Aku kembali memakan makan siangku yang enak sambil mencuri pandang pada Hino-kun.
◇
“Igarashi-san.”
Ketika Aku mengemas bekalku yang kosong setelah makan, tangan dingin berada di atas tanganku. Aku mendongak melihat Hino-kun menyentuh tanganku dengan ekspresi serius.
“A-ada apa?”
“Bagaimana kalau kita makan siang bersama lagi besok? Untuk masa percobaan saja.”
“Um, k-kalau kamu nggak papa, maka Aku juga tidak masalah…”
Minggu ini Maki-kun sudah mengambil pelajaran tambahan saat istirahat makan siang, dan Meina-chan mengajarinya. Dia punya banyak nilai merah… atau lebih tepatnya, sepertinya ada kesalahan dalam semua lembar jawabannya jadi Meina-chan ingin membantunya untuk berjaga-jaga. Jadi Aku tidak punya rencana lain.
“Kalau begitu tolong beritahu Aku email atau nomer ponselmu. Atau ID mu di talk app. Agar Aku bisa menghubungimu jika kita tidak bisa bertemu.”
“Eh, t-tapi bukankah agensimu mengatakan tidak boleh untuk…?”
“Nggak apa-apa jika kamu nggak memberitahu orang lain atau menjual kontak informasiku.”
“Oh, o-oke…”
Jika Aku menolak, maka itu akan kelihatan seperti Aku adalah orang yang ingin menjual kontak informasinya. Dengan cepat mengangguk bersama kata-katanya, Aku mengeluarkan ponselku dari saku-ku.
“Um, apa nomer ponselku tidak apa-apa untuk sekarang? Dan kemudian nomer Hino-kun-“
“Bisakah kamu meminjamkan ponselmu padaku? Kamu sudah bersabar dengan keegoisanku selama beberapa saat ini, jadi Aku bisa melakukannya sendiri.”
“Eh…”
“Apa kamu tidak akan membiarkanku melakukan sejauh ini? Kamu membuatkanku bekal dan bahkan pergi ke luar untuk berbelanja untukku kemarin.”
Dia memiringkan kepala meminta maaf dan Aku menyerahkan ponselku dengan gugup kepadanya. Dia tersenyum.
“Makasih. Aku akan cepat.”
Hino-kun bekerja dengan ponselku dan ponselnya dengan cekatan. Aku menemukan bahwa Aku tidak bisa tenang sembari menatap bulu matanya yang panjang turun untuk menatap ponselku. Setelah menunggu sebentar, dia mendongakkan kepalanya.
“Makasih. Aku sudah memasukkan semuanya. Hubungi Aku segera jika terjadi sesuatu.”
Aku mengambil lagi ponselku dan melihat kontak informasi Hino-kun terpampang di layar. Aku haus memastikan untuk tidak menjatuhkan ponselku. Namanya dengan jelas tertulis sebagai “Hino Yousuke” pada registrasinya, jadi Aku harusnya tidak boleh menghilangkan ini. Aku punya kata sandi, tapi Aku harus memastikan untuk tidak kehilangan ponselku supaya aman saja.
“Oh benar. Ini upahmu untuk besok.”
Ketika Aku menatap ponselku, Hino-kun mengulurkan sebuah amplop kepadaku. Oh ya, Aku harus mengembalikan uang itu.
“Hino-kun, sepertinya kamu secara nggak sengaja memberikan sepuluh ribu untukku kemarin. Jadi Aku ingin mengembalikannya…”
“Ini bukan sebuah ketidak sengajaan, kok?”
Aku bergerak untuk mengambil amplop itu namun membeku terhadap nada suara naturalnya Hino-kun. Dia menunduk menatap amplop dan diriku dengan tenang.
Itu bukanlah… suatu ketidak sengajaan? Jumlah ini? Ketika Aku terperangkap dalam keterkejutan, dia memberiku amplop untuk besok.
“Yea, itu membutuhkan dua jam bagimu untuk berbelanja, ditambah waktu yang kamu habiskan untuk pulang, memikirkan menu, dan benar-benar membuatnya pasti menghabiskan dua jam lagi, kan? Ditambah dengan harga bahan-bahan dan kerepotan harus membawa dua makan siang, kupikir ini adalah jumlah yang tepat. Apa ini nggak cukup?”
“Nggak, lebih ke, ini kebanyakan untuk kuterima. Ini lima kali lipat dari harga sebenarnya -ditambah termasuk jumlah untuk besok- jadi tidak mungkin Aku bisa menerima ini.”
Tertegun dengan kata-katanya, Aku mencoba menyerahkan balik amplop itu pada Hino-kun. Tapi dia hanya menatapnya dan bergumam, “Ohhh.”
“Apakah karena pajak? Itu pastinya akan banyak memberimu masalah.”
Pajak?
This wasn’t about taxes. I was just trying to say how this was too much…
Ini bukan mengenai pajak. Aku hanya mencoba mengatakan bagaimana jumlah ini terlalu banyak…
“Um, bukan begitu, Hino-kun. Aku mengatakan bahwa jumlahnya kebanyakan…”
“Baiklah, Aku akan memastikan untuk menyesuaikan ulang jumlahnya dengan benar. Jadi jangan khawatir. Aku tidak ingin membebani orang tuamu.”
Hino-kun mengambil balik amplop dariku, mengeluarkan dompetnya sendiri, dan mulai memindahkan sesuatu dari dompetnya ke dalam amplop. Setelahnya dia berbalik lagi padaku.
“Baiklah, ini dia. Jumlah untuk hari ini dan besok. Aku tidak punya niat untuk menurunkan jumlah yang kuberikan padamu. Makasih karena membuatkanku bekal yang lezat hari ini. Aku akan datang untuk makan siang besok, jadi kesinilah dan buka pintunya.”
Setelah mengatakan kata-kata yang menekan seperti itu, Hino-kun pergi dengan sebuah senyuman. Meninggalkan diriku yang tertegun, kunci untuk ruangan ini, dan…
“Nggak, ini jauh kebanyakan, Hino-kun…”
…amplop dengan anehnya sejumlah besar uang di dalamnya.