“M-Maaf Mizuka-chan, apakah tidak apa-apa jika aku pergi ke Maki-kun?”
Istirahat makan siang selesai dan kelas memasak sudah mulai. Ketika Aku berdiri di depan konter memeriksa bahan-bahan, Meina-chan, dari kelompokku, terus menatap antara aku dan kelompok sebelah dengan wajah pucat.
Aku mengikuti tatapannya ke kelompok sebelah, dan seperti yang kupikirkan, itu adalah teman masa kecilnya, Maki-kun.
Rambut hitamnya yang sedikit panjang bergoyang ketika dia mencuci sebuah pisau sambil memegang mata pisaunya. Itu berbahaya. Ke titik dimana itu akan jadi sebuah keajaiban jika dia tidak terluka. Melihatnya saja membuatku cemas.
“Tentu saja! Sampai jumpa nanti.”
“Terimakasih, Mizuka-chan…! Aku pasti akan mencuci semuanya setelahya nanti, jadi tinggalkan saja begitu kamu sudah selesai…!”
Aku melihat Meina-chan, yang meminta maaf dengan wajah pucat, pergi. Teman masa kecilnya di kelompok sebelah, Maki-kun, selalu seperti itu sejak awal sekolah.
Kemarin lusa, dia datang ke sekolah penuh dengan dedaunan seperti dia telah tergelincir dari sebuah bukit di suatu tempat. Kemarin, dia membahasi diri mencoba minum dari keran saat kelas olah raga.
Meina-chan says that he often falls down the stairs. So she stays by his side to protect him. Those two resembled a straight-laced older sister and her younger brother.
Meina-chan mengatakan bahwa Maki-kun sering jatuh dari tangga. Jadi dia berada di sampingnya untuk menjaganya. Keduanya mirip dengan kakak perempuan dan adik lelakinya yang kaku.
“Baiklah, saatnya bekerja.”
Berbalik lagi ke konter, Aku mengambil satu telur. Aku memecahkannya di sisi mangkuk kaca dan menjatuhkan isinya ke dalam, mengocoknya dengan sumpit.
Aku mengesampingkan campuran telur itu dan mengeluarkan beberapa mentega.
Aku meletakkan mentega itu di mangkuk lainnya dan mengadonnya dengan spatula karet sampai menjadi krim. Aku menambahkan sedikit gula dan telur sedikit demi sedikit sebelum menambahkan tepung dan mencampurkannya agar tidak mengental.
Sekarang ini adonannya tak berasa, tapi di kelas ini kami punya pilihan untuk membuatnya tak berasa atau menambahkan biji cokelat untuk membuatnya berasa cokelat.
Aku tentu saja ingin menikmati rasa manis dari kokoa yang lembap dan kenyal, dan rasa pahitnya cokelat krispi!
Aku menambahkan bubuk kokoa dan menghancurkan potongan cokelat, mengaduknya dengan spatula karet supaya adonannya akan terpanggang lembut tanpa menghancurkan cokelatnya.
Setelah bauranku tercampur dengan rata, Aku meletakkan kap kertas ke cetakan kue muffin dan menuangkan adonan ke atasnya.
“Baiklah.”
Aku meletakkannya di dalam oven dan Aku mulai beres-beres sembari menunggu kuenya selesai dipanggang. Ketika Aku melirik ke Meina-chan, Aku bisa melihatnya sedang mengelap tepung dari tangan Maki-kun dengan bersemangat.
Seluruh tubuh Maki-kun mungkin akan sudah tertutup oleh tepung tanpa adanya Meina-chan.
“Hey, Hino-kun, kamu tinggal sendirian, kan? Apa kamu biasanya memasak?”
Mataku secara refleks bergerak setelah mendengar suara keras. Hino-kun memegang telur dengan bunga di kedua tangan, atau lebih tepatnya, ia dikelilingi oleh para gadis cantik.
Gadis-gadis itu memiliki ekspresi melamun, mengayak tepung dan menakar susu dengan wajah merah. Aku menatap Hino-kun dengan kekaguman, tapi untuk alasan yang berbeda. Jika itu adalah Aku, Aku sudah akan menyebabkan bencana.
“Aku tidak banyak memasak. Aku suka makan tapi Aku biasanya terlalu sibuk dengan pekerjaan, untuk bisa masak.”
“Apa! Kalau begitu bisakah Aku membuatkanmu sesuatu?”
“Huh, itu tidak adil. Aku juga akan membuatkan sesuatu untukmu! Meskipun Aku hanya bisa membuat nasi omu!”
“Haha. Agensiku akan marah, jadi Aku akan menerima perasaan kalian saja.”
Hino-kun memutar pandangannya ke arahku sambil berbincang dengan para gadis. Karena Aku menatapnya, mata kami bertatapan.
Apa yang harus kulakukan? Jika dia berpikir Aku terlalu banyak menatapnya… tapi mungkin dia terbiasa dengan itu. Semua gadis… semuanya kecuali Meina-chan selalu menatapnya.
Berhati-hati untuk tidak memberikan kesan buruk, Aku dengan alami memalingkan pandanganku dari arahnya ke sekitar. Aku melihat kelompok-kelompok lain dengan perlahan, memberi kesan bahwa Aku menatap seluruh kelas dan kemudian pada akhirnya menetap menatap oven.
Kue-kue muffin itu mengembang dengan aroma harum mentega dan cokelat manis.
Untungnya itu sepertinya tidak gosong atau kempes. Aku duduk di kursi di sampingku dengan lega.
Ada cukup kue muffin di dalam oven untuk Meina-chan juga. Itu adalah tanggung jawab yang berbeda, membuat sesuatu untuk dimakan orang lain dibanding untuk dimakan sendiri. Aku senang kuenya terpanggang dengan begitu baik. Aku akan bahagia jika ini berlanjut seperti ini juga.
Ketika Aku duduk menunggu, sebuah alat pengukur waktu elektronik berdenting untuk memberitahu bahwa kue muffinnya selesai.
Aku mengeluarkannya dari oven dengan cepat, dan menjajarkan kue-kue muffin itu di atas sebuah rak logam pendingin. Adonannya mengeras dan membengkak ke warna bata gelap. Cokelatnya meleleh tapi tetap keras di sudut.
Aku mengambil dua untukku dan Meina-chan untuk dimakan saat kelas dan membungkus sisanya. Kemudian Aku mengisi plastik yang telah disiapkan dengan kue muffin satu per satu.
Jika Aku memakannya di rumah, Aku mungkin akan membuat whipping cream dengan sejumlah kecil gula untuk dimakan bersama kuenya.
“Um, Igarashi-san.”
Ketika Aku mengemas kue-kur muffin itu dan mempertimbangkan bagaimana mengaturnya, teman sekelasku, Sasaki-san, berdiri di hadapanku.
“Hm? Ada apa?”
Dia duduk di depan Meina-chan. Dia adalah seorang gadis yang lembut dan amat imut, yang menarik mata semua gadis di kelas. Semua orang memanggilnya “Sasaki-chan”. Dia memamerkan kotak pensilnya saat istirahat makan siang jadi aku punya perasaan dia adalah gadis modis.
Tapi itu hanya apa yang sudah kusimpulkan. Aku sendiri tidak pernah berbicara kepadanya. Dia juga berada di kelompok berbeda, jadi apa yang mungkin dia butuhkan denganku?
“Um, jika kamu tidak keberatan, bisakah Aku minta kue muffinmu?”
Dengan canggung, Sasaki-chan membungkuk padaku, rambut hitamnya turun di depannya.
…Mungkin dia gagal membuat jumlahnya dan tidak bisa melakukan apapun untuk itu? Dia tidak terlihat seperti tipe orang yang hanya ingin makan banyak, jadi mungkin sesuatu terjadi pada kue muffinnya.
Aku melihat kelompok Sasaki-kun namun tidak melihat siapapun di sana. Sepertinya semua orang mengelilingi Hino-kun. Tapi Aku bisa mencium aroma gosong, jadi mungkin Sasaki-kun bertanggung jawab memanggang kue dan gagal.
Jika demikian, Aku merasa kasihan padanya. Aku bukanlah setan makanan yang akan memonopoli seluruh bagianku dan membiarkan teman sekelasku tidak makan apa-apa.
“Kalau kamu nggak masalah dengan kueku. Ini.”
Ketika Aku menyerahkan sebungkus kue muffin, dia tersenyum dengan lega. Aku merasa senang melihatnya.
“Makasih, kamu benar-benar membantuku.”
“Nggak masalah.”
Sasaki-san kembali ke kelompoknya dengan langkah yang lebih ringan daripada sebelumnya. Aku juga merasa puas karena bisa membantu seseorang. Dia bergantung padaku dan jika dia berpikir bahwa kue muffinya enak… atau sesuatu seperti itu? Itu akan membuatku bahagia.
“Maaf karena membuatmu melakukan semuanya sendirian, Mizuka-chan…! Aku akan mencuci sekarang… Wow, kuenya terpanggang dengan cantik… Kelihatannya enak!”
Meina-chan kembali, menatap kue muffin yang kubuat dengan bangga. Dia melihat ke arah Sasaki-san dan memiringkan kepalanya. “Ada apa?”
“Sasaki-san datang meminta sepotong muffin.”
“Yeah, kelompok itu membuat gosong kue muffin mereka. Awalnya kupikir itu Maki-kun dan Aku benar-benar khawatir!”
“Sepertinya kamu sibuk. Kerja bagus.”
“Makasih. Tapi Aku senang… bahwa nggak ada kebakaran…”
Meina-chan tersenyum lemah. Itu pasti benar-benar sulit untuknya. Aku menatap Maki-kun dan melihat bahwa dia menunduk di mejanya karena kelelahan. Aku mengambil kue muffin Meina-chan dan memberikannya padanya.
“Makanlah muffin ini untuk menyingkirkan rasa lelahmu. Karena makanan manis bagus saat kamu lelah.”
“Terimakasih…! Aku akan menikmatinya. …Mmm, harum sekali…!”
Meina-chan kelihatan senang ketika dia mengambil kue muffin itu. Merupakan hal menyenangkan untuk berbagi makanan yang kubuat dengan orang lain. Memikirkan ini, Aku bisa memilih makananku dengan bebas, tapi sulit untuk memakan semuanya sendirian.
Yea, ada beberapa larangan jadi Aku tidak bisa secara khusus makan sesuatu. Ditambah, hal-hal akan jadi lebih cepat busuk di musim depan, jadi akan ada lebih sedikit yang bisa kumakan.
“Mizuka-chan?”
Sepertinya Aku terjebak dalam pikiranku. Meina-chan menatapku khawatir dan Aku segera menggelengkan kepalaku.
“Ya, menyenangkan punya seseorang yang memakan apa yang kubuat. Kedua orang tuaku sedang dalam perjalanan bisnis jadi Aku tinggal sendiri.”
“Itu kedengarannya sulit. Kamu bisa memberitahuku jika terjadi sesuatu.”
“Makasih.”
Meina-chan tersenyum lembut ketika Aku berterimakasih padanya. Kami pergi ke bangku kami untuk makan kue muffin kami. Ya. Aku senang karena memiliki teman baik. Aku akan terbiasa dengan kesendirian. Aku harus membuat banyak makanan enak dan memakannya malam ini.
Aku memegang muffin panggang dan membuka bungkusnya dengan bersemangat.
◇
Kelas memasakya berhasil dan ketika Aku bergegas pulang setelah sekolah agar Aku bisa membuat makanan, Aku menemui sebuah sutuasi.
“Sebenarnya, Hino-kun,” Sasaki-san berkata dengan senyuman imut mirip idola. Dan yang berada di hadapannya… adalah Hino-kun. Ketika sedang menuruni tangga untuk pulang dengan cepat, Aku melihat Sasaki-san dan Hino-kun berada di pendaratan* berbincang dengan suasana aneh.
T/N : Mon maaf bingung itu namanya apa. Pokoknya itu area datar di puncak tangga atau di antara tangga yang satu dan yang lainnya.
Tangga ini jarang digunakan karena jauh dari ruang kelas, tapi kamu bisa menuruninya dengan mudah, jadi Aku pikir itu akan jadi yang paling cepat. Sekarang Aku dihadapkan dengan kesia-siaan waktu seperti biasa. Aku bahkan ingin pergi lebih awal agar Aku tidak melewatkan obralan swalayan… Akankah putar balik lebih cepat? Tapi jika mereka segera selesai bicara, maka jalan ini tentu lebih cepat…
Ketika sedang menunggu, Sasaki-san mengeluarkan sepotong kue muffin dari tasnya.
“Aku bekerja keras untuk memanggang kue muffin ini untukmu. Aku tahu kamu mungkin tidak bisa karena agensimu, tapi bisakah kamu memakan ini…?”
Sasaki-san mengulurkan kue muffin untuk Hino-kun dengan menawan. Aku merasa otakku kosong karena aksi itu. Tak ada kesalahan bahwa kue muffin yang ia ulurkan adalah kue yang kubuat. Aku bisa mengetahuinya dari panggangan, pengembangan, dan warnanya bahwa itu adalah buatanku.
S-Sasaki-san tidak memakannya sendiri…? Dia menawarkan kue milikku karena dia tidak mau menawarkan kue gosongnya…?
Ketika Aku mulai frustasi terhadap rasa ketidakpercayaanku padanya, Hino-kun menerima kue muffin itu. Meskipun dia seharusnya tidak bisa menerima hal-hal buatan tangan berdasarkan agensinya.
“Wow, ini benar-benar dibuat dengan baik.”
Dia tersenyum senang. Apa dia punya hubungan spesial dengan Sasaki-san? Jika begitu, maka Aku harus pergi dari sini…?
“Aku tidak tahu apakah Aku bisa memakannya sekarang? Kue muffin ini terlihat enak.”
Hino-kun membuka pembungkus dan mengeluarkan kuenya. Aku melihat ketika dia memasukkan kue itu ke mulutnya dan mengangguk dengan senyuman. Melihat ekspresinya, Aku merasakan sebuah perasanyaan tak nyaman, berbeda dengan sebelumnya. Untuk beberapa alasan, tenggorokanku serasa dicekik dan dadaku terasa tidak nyaman. Aku linglung sampai keduanya pergi dan kemudian Aku lari menuruni tangga.
◇
Keesokan harinya, Aku menaruh membentangkan bekalku di atas bangku dekat gerbang. Aku makan siang sendirian hari ini. Maki-kun sedang bertugas dan Meina-chan bilang dia akan membantunya. Aku tidak ingin makan di kantin yang sesak, jadi Aku sampai di sini ketika sedang mencari tempat untuk makan.
Tapi untuk beberapa alasan, sumpitku tidak akan bergerak.
Kemarin dadaku terasa sakit dan kepalaku linglung, jadi Aku melewatkan obralan swalayan dan berakhir dengan makan udon rabus dengan kroket yang ku beli di toko penjual daging.
Aku merendam kroket goreng dalam kaldu bonito dan menyesap udonnya. Adonan krispinya, kentangnya, supnya, dan kekenyalan mie-nya semua cocok satu sama lain dan itu sangat enak.
Aku biasanya makan dua telur rebus karena hanya satu tidak akan cukup, tapi kemarin, Aku tidak masalah makan satu.
Maksudku, Aku sejujurnya bahkan tidak ingat bagaimana Aku pulang kemarin. Aku hanya ingat makan udon.
Aku masih linglung pagi ini. Aku bahkan akhirnya membuat telur dadarku gosong.
Aku menghela nafas dan menatap bekal di tanganku.
Bekal hari ini terbuat dari nasi shiso hijau, telur goreng dan potongan wakame, daging gulung asparagus, dan brokoli kukus. Mungkin ini adalah pilihan yang tepat untuk tidak menambahkan banyak hidangan pendamping.
Nasi shiso dicampur dengan kuah China. Telur gulungnya dibuat seperti udon tanuki dan asparagus gulungnya menyimpan rasa madu. Itu adalah menu yang enak seperti biasa.
Tapi sumpitku tidak akan bergerak. Entah bagaimana, ekspresi Hino-kun kemarin datang ke kepalaku.
…Tapi kenapa? Itu adalah ekspresinya ketika makan kue muffin kemarin. Itu adalah ekspresi yang sangat bahagia, seakan dia telah mencapai tujuan hidupnya. Meskipun dia tidak memiliki perasaan seperti itu ketika makan roti manis itu, hanya menggerakkan tangannya ke mulutnya… Aku bertanya-tanya apakah dia hanya nggak suka roti manis itu saja? Ketika Aku duduk di sana, hanya memegang sumpitku, tiba-tiba sebuah bayangan muncul di sebelah kakiku.
Ketika Aku mendongak, ada seseorang yang kelihatan seperti seorang model semampai – Hino-kun berdiri di sana. Rambutnya yang bermandikan matahari terlihat halus dan matanya yang sedikit cokelat menatap ke bawah ke arahku.
“Bolehkah Aku duduk di sampingmu, Igarashi-san?”
“E-eh, t-tentu.”
Aku dengan cepat bergeser ke samping dalam merespon Hino-kun. Dia duduk di sampingku dan berterimakasih padaku dengan suaranya yang sangat manis. Kudengar orang-orang mengatakan bahwa suaranya juga keren, dan itu tepat sekali. Tidak terlalu tinggi maupun terlalu rendah.
Apa yang terjadi? Apa yang mungkin dia inginkan dariku? Apa dia butuh bantuan dengan materi presentasi? Apa dia bertanggung jawab dalam kepanitiaan…? Aku tidak bisa memikirkan alasan apapun. Dari awal Aku memang tidak mengenalnya. Aku menatapnya dengan gugup karena dia menghadapku dengan ekspresi serius.
“Igarashi-san, bolehkah Aku menunda waktumu?”
“Huh?”
Aku tidak mengerti kata-katanya jadi Aku tak dapat berkata-kata selama beberapa saar. “A-apa maksudmu?” Tanyaku, dan dia menunjuk ke arah bekalku.
“Aku ingin kamu membuatkanku bekal.”
“K-kenapa? A-apa yang sebenarnya…?”
“Kamu membuat kue muffin. Untuk Sasaki-san.”
Lagi, kata-kata Hino-kun membuatku terkejut. Oh, apakah dia melihatku memberikan kue itu pada Sasaki-san? Atau dia bertanya pada Sasaki-san sendiri?
“Ketika Aku memakan kur muffin itu, untuk pertama kalinya dalam waktu lama, Aku bisa merasakannya. Kupikir Aku ingin makan makananmu lagi. Dan ada beberapa alasan lain Aku menginginkanmu membuatkan makan siang untukku…”
“…Alasan-alasan?”
“Yeah. Kamu juga menggunakan kantin, jadi kamu tahu apa yang terjadi di sekelilingku, kan?”
Aku mengingat bagaimana dia ketika berada di kantin. Dia kelilingi oleh orang-orang dan berada pada sebuah lingkungan dimana dia sepertinya tidak bisa menikmati makanan mereka. Dan ketika berganti kelas, terkadang gadis-gadis mengelilinginya menghalangi koridor dan membuatnya sulit melewatinya. Tapi Aku membuat bekal untuknya tidak pas dengan itu.
“…Aku paham, tapi…”
“Aku tidak bisa membeli tiket makan karena semua orang akan mengerumuni mesin dan itu akan memuakkan bagi yang lainnya. Aku makan roti yang sama dan bahkan jika Aku membelinya di luar, orang-irang akan mengambil vidio dan fotoku tanpa izin.”
Itu benar bahwa mesin tiket makanan berjajar bersama. Jika dia membawa kerumunannya ke sana, mereka akan menghalangi jalan. Jadi Aku bisa memahami dia tidak menikmati rotinya. Aku yakin Hino-kun pasti bosan dengan itu.
“Tidak ada yang bisa kulakukan karena pekerjaan. …Meskipun menyakitkan. Tapi ketika Aku makan kue muffinmu, untuk pertama kalinya dalam hidupku Aku berpikir sesuatu enak dan merasa bahagia. Itulah mengapa Aku ingin mengulur waktumu Igarashi-san.”
Dia menatapku dengan keyakinan kuat.
Makan seharusnya dapat dinikmati. Seluruh makan tiga kali sehari, setiap hari. Terlalu menyakitkan untuk menderita tiap hari. Itu terdengar aneh, tapi ceritanya membuatku membuat keputusan.
“Bisakah kamu membuatkanku kotak bekal selama seminggu sebagai masa percobaan? Dan kemudian kamu bisa menolaknya jika itu terlalu merepotkan.”
“Apa kamu tidak masalah denganku…?”
“Ah, apa kamu akan menerimanya?”
Matanya membelalak karena responsku. Ketika Aku mengangguk, matanya tiba-tiba berubah cerah, hampir seakan-akan dia tidak pernah menunduk, dan dia menggenggam tanganku.
“Sungguh!? Aku senang! Makasih!”
“T-tapi Aku tidak bisa membuat sesuatu yang mewah oke? Aku hanya bisa membuat sesuatu yang sederhana…”
“Oh, itu sempurna. Apa yang biasa kamu buat tidak apa-apa. …Oh, Aku akan memberikanmu pembayarannya dulu. Ini untuk besok.”
Dia mengeluarkan sebuah amplop dan menyerahkannya padaku dengan mata berkilau. Ketika Aku merasa senang bahwa dia begitu bahagia, pada saat yang sama Aku juga bingung kenapa dia begitu bahagia. Setelah menerima amplop itu, dia menunjuknya.
“Apa namanya kotak sekali pakai? Aku membayar untuk kotak bekalnya juga. Beritahu Aku jika itu tidak cukup.”
“U-um, o-oke…”
“Oke, Aku punya pekerjaan sekarang, jadi Aku akan berjumpa denganmu di sini saat istirahat makan siang selanjutnya. Sampai jumpa.”
“D-da dah.”
Dia berdiri dan pergi setelah Aku menima amplop itu. Aku melihatnya berjalan balik ke gedung sekolah dan kepalaku kembali mendingin.
Aku akan membuat makanan untuk Hino-kun.
Itu benar-benar mempengaruhiku ketika Aku mendengar bahwa makan adalah hal yang menyakitkan buatnya. Apa ya yang harus kubuat untuknya? Dia adalah seorang model dan ada juga drama itu yang dibintanginya. Dia adalah seseorang dari dunia yang benar-benar berbeda.
Aku membuka amplop yang dia berikan padaku. Ada satu uang kertas, dengan empat nol…
“Sepuluh rib…! Apaaaaaa!?”
Isinya membuatku tak dapat berkata-kata. Ini adalah jumlah yang akan kudapat untuk uang saku Tahun Baruku. Apa, apa sih, apa-apaan dengan uang sebanyak ini? Jelas ini aneh. Ini jumlah untuk makanan lengkap mahal. Apa ya yang harus kubuat untuk bekalnya besok? Atau malah, kenapa Hino-kun memberiku uang sebanyak ini…?
Aku tertegun, hanya menatap amplop aneh dengan begitu banyak uang.