Cinta yang Mengintai di Meja Makan

“Tetaplah berteman dengan Me-chan. Juga, aku akan membunuhmu kalau kamu memberitahunya tentangku hari ini… Teman… Me-chan…”

Meskipun menatapku dengan dingin, pada akhirnya dia meringkuk di atas meja dan tertidur. Ketika aku sedang tertegun, aku mendengar suara langkah kaki dan Meina-chan muncul.

“Oh, Mizuka-chan, apa kamu pulang se… Maki-kun!? Kalau kamu tidur di sini kamu akan masuk angin! Itu bukan ranjang! Bangun, Maki-kun!”

“Uu… Me-cha…? Kasurku keras…”

“Iya, karena kamu tidur di meja guru! Itu bukan ranjangmu! Ini sekolah! Bangunlah!”

Dia dengan malas bangun setelah Meina-chan menggoyangnya dengan kuat, tapi kemudin dia mengerang dan mencoba kembali tidur.

“Bangunlah, Maki-kun!”

“Suara Me-chan keras.”

Aku terkejut dengan betapa berbedanya dia dari sebelumnya ketika ponselku bergetar di saku-ku.

Aku memeriksa layarku untuk melihat sebuah pesan sederhana dari Hino-kun yang dibaca, “datanglah ke rumahku, Igarashi-san.”

Sesuatu pasti telah terjadi.

Aku segera menyambar barang-barangku, mengatakan selamat tinggal pada Meina-chan dan Maki-kun, dan meninggalkan ruang kelas.

Aku berlari ke gedung apartemen Hino-kun dan memanggilnya lewat intercom. Dadaku terasa tak beraturan dan aku tidak bisa tenang. Aku mengiriminya pesan sembari naik bis ke stasiun terdekat, tapi dia tidak membacanya.

Aku berdoa sambil menunggu di aula depan, skenario buruk berlarian di kepalaku, ketika Hino-kun muncul.

“Kamu datang, Igarashi-san.”

Hino-kun terlihat lebih tenang dari yang kubayangkan ketika dia mengisyaratkanku untuk masuk ke dalam. Ketika aku mendekat, dia menyambar tanganku dan menarikku mendekat.

“Eh, H-Hino-kun?”

“Ke ruanganku. Aku nggak tahu siapa yang bisa melihat.”

Kemudian dia menarikku ke lift dan menekan tombol ke lantainya. Kami berjalan ke ruangannya dengan aku yang tidak memahami apapun.

Aku dengan takut-takut mengikuti Hino-kun ke rumahnya. Hari ini hari Kamis, jadi karena aku sudah menghindari makan malam bersamanya sejak Senin, ini sudah sekitar empat hari sejak aku berada di sini. Belum terlalu lama.

Meskipun seharusnya tidak ada yang berubah, ruangan itu terasa diselimuti suasana yang berbeda.

“Sebenarnya, saat aku pergi mengambil pengantaran ke rumah, wanita memberiku perasaan buruk… Tidak ada yang terjadi, tapi aku takut jadi aku menghubungimu.”

…Pengantaran ke rumah.

Dia menghadapi sesuatu yang buruk dari karyawan yang membawakannya makan malam sebelumnya. Dia mungkin teringat saat itu. Suara lemahnya melukaiku ketika dia membungkuk dan mengatakan,” Kamu sibuk hari ini, kan? Maaf.”

“Nggak, nggak papa.”

“Tapi, kamu bilang kamu harus melakukan sesuatu hari ini, kan?”

“Iya, tapi… tapi itu adalah sesuatu yang bisa kuubah demi keamananmu…”

Sebenarnya aku tidak memiliki rencana apapun. Alasan kenapa aku menolak makan malam bersama adalah karena aku tidak bisa menatapnya. Aku mengalihkan mataku, merasa bersalah untuk banyak alasan.

“Kalau begitu, maaf, tapi kalau begitu apa bisa kita makan malam bersama hari ini? Aku tidak punya banyak nafsu makan karena aku takut, tapi kalau kamu di sini, kupikir aku bisa makan. Aku punya pekerjaan malam ini jadi aku ingin makan.”

“Um…”

“Tidak…?”

Makan bersama dengan Hino-kun. Meskipun aku memutuskan untuk menunggu sampai perasaanku tenang, aku merasa bersalah karena dia menghadapi sesuatu yang menakutkan.

Mungkin jika aku ada di sana, aku bisa melakukam sesuatu. Aku berharap aku ada di sana… tapi di sisi lain, aku bertanya-tanya apa yang bisa kulakukan.

Tapi sendirian ketika sesuatu yang buruk terjadi terasa tak berdaya. Aku tidak bisa hanya meninggalkannya di sini.

“Oke. Tidak masalah.”

Aku tidak bisa menyukainya lagi lebih dari ini. Aku harus berhenti menyukainya. Hari ini, aku akan mencoba untuk tidak menatap Hino-kun, tidak mendengar suaranya, tidak merasakan kebaikannya, dan hanya memikirkan tenyang makanan dan memasak.

Aku mengangguk pada Hino-kun dengan perasaan kesepian dan mencoba sebisa mungkin untuk tersenyum.

Today, the dinner I had given to Hino-kun was Naporitan. After receiving the lunch box from him, I took out the Naporitan and put it on the skillet over the fire.
Hari ini, makan malam yang kuberikan pada Hino-kun adalah Naporitan. Setelah menerima kotak makan siang darinya, aku mengeluarkan Naporitan dan meletakkan kuali di atas api.

Karena itu sudah digoreng, aku tidak perlu menambahkan minyak. Bahannya; bawang, jamur, lada, dan sosis, sudah panas. Ketika kualinya menghangat, aku mulai memecahkan telur ke sebuah mangkuk.

Aku menambahkan sedikit susu dan keju bubuk, dan karena kejunya sudah mengandung garam, aku hanya menambahkan lada.

Aku menuangkan adonan telur ke sekeliling Naporitan dan mengaduk dengan lembut agar tidak mencampurkan semuanya, dan permukaan adonann telur itu mulai mengeras.

Ketika aku mematikan api, Hino-kun mengeluarkan salad bayam dan makanan penutup tiramisu yogurt dari kotak bekalnya.

“Aku akan mengeluarkan tatakan gelas.”

“Makasih.”

Aku berterimakasih pada Hino-kun ketika aku mengatur tiramisu, salad, dan Naporitan di atas meja. Dia menatap dengan aneh pada Naporitan.

“Apa ini?”

“Aku bertanya-tanya kenapa hanya ada satu porsi.”

Dia manatapku seakan dia menuduhku. Aku tidak bisa menatapnya karena aku berbohong dan mengatakan makananku ada di rumah.

“Kalau begitu…”

Hino-kun mulai memindahkan kursiku ke samping kursi yang selalu didudukinya. Aku bertanya-tanya apa yang di lakukan ketika dia menepuk kursi itu dan memberitahuku untuk duduk.

“Aku tidak tahu apakah aku akan bisa memakan semuanya, jadi ayo makan bersama?”

“Eh…”

Sebelum aku bisa menjawab, Hino-kun mendudukkanku dan duduk di kursi sampingku. Kemudian dia menangkupkan tangannya sambil menatapku.

“Ayo, makan.”

“Tapi…”

“Tolonglah? Ayo makan bersama?”

Aku menangkupkan tanganku seperti yang diperintahkan. Dia dengan bahagia menepukkan tangannya dan berkata, “Terimakasih untuk makanannya.”

“Bolehkah aku mencicipi?”

“Tentu. Silahkan.”

“Yay! Makasih, Igarashi-san!”

Dia menyambar garpunya dan dengan anggun menyendok sedikit Naporitan dan telur dan membawanya ke bibirnya.

Aku tidak bisa melihat ekspresinya jadi aku fokus pada tangannya ketika dia mengatakan, “Mm, telurnya cair! Itu cocok sekali dengan Naporitan! Enak.” Jantungku mulai berdetak kencang hanya mendengar suara gembiranya.

Ini tidak bagus. Suaranya juga membuat hatiku sakit.

Sebeluk ini, ini adalah waktu menyenangkan, tapi sekarang ini hanya menyakitkan. Aku membencinya, tapi kapanpun aku melihat Hino-kun makan makanan enak, aku menyadari betapa aku menyukainya.

Aku tahu makan siang akan menyakitkan, jadi paling tidak aku ingin menghindari makan malam bersama… Ini benar-benar menyakitkan. Berhentilah, aku perlu memikirkan tentang makanan.

“Saladnya juga enak! Aku suka kombinasi ini.”

“Aku menggunakan yogurt untuk tiramisu dan tidak memakai telur, jadi aku bisa merendahkan jumlah kalorinya.”

“Benarkah? Makasih, Igarashi-san!”

Untuk tiramisunya, aku mengganti keju dengan yogurt. Aku mencampurkan yogurt tanpa pemanis encer dengan krim kocok dan menyajikannya di atas biskuit yang dicelup kopi seperti tiramisu biasa, mendinginkannya, dan menaburkan bubuk coklat setelahnya.

Biskuitnya dibeli di toko, tinggi gandum dan rendah kalori, tapi jika aku membuatnya dengan tangan, aku bisa mengatur isi nutrisi dan kalori, jadi aku masih bisa membuat banyak perubajan. Di samping itu, ini bisa menjadi camilan untuk Hino-kun.

Ketika aku sedang berpikir, aku menyadari betapa naturalnya pemikiranku berganti terhadp hal-hal untuk memasak-kan Hino-kun. Aku benar-benar harus berhenti. Hari ini dengan insiden kari, aku tidak ingin dia makan makanan yang dibuat oleh orang lain.

Ini benar-benar tidak bagus. Sembari menunduk, untuk beberapa alasan, sesuatu berwarna oranye memasuki pandanganku.

“Oke, buka mulutmu, Igarashi-san.”

Hino-kun menjulurkan sesendok Naporitan di atasnya. Aku kaku, tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Tapi ketika dia mengatakan, “Cepatlah dan makan. Jika ini jatuh ini akan mengotori bajuku,” Aku dengan cepat membuka mulut.

“Gadus pintar.”

Rasa asam Naporitan dan lembut telur rebus setengah matang meledak di mulutku. Aku memakannya setelah sedikit keterkejutan, tapi dia menyusul dengan segarpu lagi ke mulutku, mengatakan, “Baiklah, buka mulut.”

Hino-kun terlihat gembira menyuapiku. Tolong jangan melihatku dengan begitu bahagia. Tapi dia membawa Naporitan ke mulutku lagi dan kemudian menuju ke salad.

“Hei, Igarashi-san.”

Aku sibuk memakan salad, jadi aku bertemu matanya untuk menunjukkan bahwa aku mendengarkan. “Hari ini…” dia mulai, suaranya tebal.

“Kenapa kamu memberikan kari-mu pada Kawauchi?”

Aku memikirkan kembali kejadian hari ini terhadap pertanyaannya. Dia mungkin merujuk pada kelas memasak hari ini.

Aku memberikan kari-ku pada Kawauchi hari ini.

Aku makan setengah roti naan tapi tidak merasa ingin memakan sisanya. Saat aku merasa tertekan, Kawauchi datang padaku dan menawarkan untuk memakannya meskipun dia adalah bagian dari kelompok lain.

Setelah aku selesai mengunyah saladku, aku mencoba membuka mulutku untuk menjawab, tapi dia menyuapkan Naporitan.

“Apa kamu menyukai Kawauchi?”

Aku tidak bisa merespon karena makanan di dalam mulutku. Ketika aku menggelengkan kepalaku, Hino-kun mengerutkan alisnya, kelihatan seperti dia mengesku.

“Kalau begitu jangan beri siapapun makanan lagi. Tidak perempuan atau lelaki. Kalau kamu punya sisa, aku akan memakannya. Berjanjilah padaku.”

Aku mengangguk. Setelah mengamati reaksiku, dia menggoyangkan tanganku dengan tangannya yang bebas seakan untuk mengingatkanku itu adalah janji. Aku menyentuh tangannya. Tubuhku secara natural tegang karena kegugupan.

“…Oh ya.”

Setelah keheningan aneh, Hino-kun kelihatan mengingat sesuatu ketika dia berputar ke kalendernya di dinding. Dia melepaskan tanganku dan menunjuk ke arah kalender.

“Aku cuti kerja selama perjalanan sekolah besok. Jadi apa kamu ingin cuti juga dan melihat pekerjaanku?”

Cuti untuk pergi melihat pekerjaan Hino-kun besok?

Otakku benar-benar kosong terhadap penawarannya yang tiba-tiba. Ketika aku akhirnya merasa siap untuk berbicara, dia tertawa, mengatakan, “Bercanda.”

“Aku cuti besok untuk perjalanan sekolah, jadi aku akan membuat banyak kenangan.”

Meskipun dia tertawa dengan bahagia, matanya kelihatan kosong aneh.

Ketika aku sedang bertanya-tanya bagaimana meresponnya, dia menyuapiku tiramisu.

Rasa tiramisu yang dia suapkan padaku sangat berbeda dri saat aku memcobanua kemarin. Ini memiliki rasa yang benar-benar berbeda.

T/N: Chapter ini aku kasih sebagian chapter sebelumnya sebagai pengingat ceritanya… Semoga tidak mengganggu bacaan kalian ^-^

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected.

Options

not work with dark mode
Reset