“Um, makan malam hari ini…”
Itu sepulang sekolah. Aku berada di rumah Hino-kun seperti biasa, memeriksa isi lemari pendinginnya..
Dia duduk di atas sofanya, memakai kacamata dan bekerja pada laptopnya.
“Hmm, tenggat waktu untuk wawancara ini adalah…?”
Ketika aku tiba di rumahnya, Hino-kun sama seperti biasanya. Sebenarnya, aku tidak tahu apakah itu benar untuk mengatakan dia kembali ke normal. Mungkin akan lebih baik untuk mengatakan bahwa dia telah berubah…
Aku memeriksa sayuran dan daging sembari memikirkan menu untuk hari ini, tapi pikiranku berkabut dan aku tidak bisa berkonsentrasi.
Ponselku bergetar ketika aku berpikir untuk memeriksa bagian makanan kering.
“Oh, Igarashi-san.”
“Hm?”
Aku mengeluarkan ponselku dari saku-ku, tapi kata-kata Hino-kun menghentikanku. Dia memeriksa sesuatu pada laptopnya dan bergumam, “Seperti yang kupikirkan.”
“Lusa, aku sibuk bekerja dari siang sampai malam, jadi aku ingin kamu membuatkanku bekal untuk makan malam… Yap, lusa. Apakah tidak masalah?”
Hino-kun menutup laptopnya dan berbalik padaku. Kemudian, bekal untuk lusa malam. Aku mengambil ponselku dari saku, menulis catatan di perangkat jadwal, dan kemudian membuka pesanku, tapi tidak ada yang terpampang di sana.
Tapi, harusnya itu bergetar tadi.
“Huh…?”
Ponsel diatur untuk berbunyi selalu. Aku hampir tidak pernah mendapatkan email dan ini bukanlah wakti untuk orang tuaku menghubungiku.
Fakta bahwa itu beretar hanya satu kali berarti bahwa itu adalah sebuah pesan, tapi tak ada pesan baru.
“Ada apa?”
“Kupikir ponselku bergetar, tapi nggak ada apa-apa.”
Ekspresi Hino-kun berubah terhadap responku, alisnya mengerut dengan pandangan khawatir. Dia mendekatiku dan menyentuh lenganku.
“…Tidak, aku nggak mendengar getar apapun. Apa kamu baik-baik saja, Igarashi-san…?”
Suaranya yang sangat serius membuatku kehilangan kepercayaan diri bahwa ponselnya bergetar. Mungkin itu adalah imajinasiku. Dia mengelus lenganku berulang kali dalam simpati.
“Maaf, kamu lelah karena kamu harus memasakkanku begitu banyak…”
“I-itu nggak benar. Aku hanya sedikit kurang tidur karena ujian akhir-akhir ini…”
“Benarkah? Aku mendengar di TV bahwa kamu bisa mulai mendengar hal-hal ketika kamu lelah.”
“Iya, aku benar-benar baik-baik saja. Ini bukan apa-apa.”
“…Kalau begitu, mau kubuatkan teh untuk menyingkirkan rasa lelahmu? Aku mendapatkannya dari toko teh setelah syuting kemarin.”
“Um…”
Hino-kun memintaku untuk duduk di sofa sebelum berjalan ke dapur. Aku melihat ketika dia mulai mengeluarkan sebuah teko kecil. Aku tidak bisa melihat tangannya dengan baik, tapi dia terlihat terampil terhadap apa yang dia lakukan.
“Aku nggak papa, jadi silahkan dan duduklah. Nggak papa kalau kamu mau tidur juga.”
“Tapi–“
“Tidurlah. Di sini juga ada selimut.”
Dia mengeluarkan selimut dan meletakkannya di atasku. Dia juga mengeluarkan bantalan untuk bantal dan aku berada pada posisi sempurna untuk tidur.
“Ayo, tutup matamu.”
Aku menutup mataku seperti yang ia katakan dan mendengar suara sebuah tutup dibuka. Itu mungkin adalah daun teh. Aku mendengarkan dengan mataku tertutup untuk mendengar suara sesuatu diiris.
Aku berada dalam ruang yang sama dengan Hino-kun.
Meskipun tiada hari tanpa hatiku yang berdebar dengan menyakitkan, belakangan, mungkin karena aku mulai terbiasa dengan itu, aku mampu tenang.
Hatiku masih kacau, tapi aku bisa merasa lebih tenang di sekitar dia.
Awalnya aku hanya menyukai cara dia makan sesuatu seakan itu lezat, tapi sekarang aku merasa lebih dan lebih sedih ketika dia tertawa, mengatakan kata-kata baik, atau bergerak dengan tiba-tiba.
Sekarang bahwa aku memikirkannya, kami sudah banyak bersama sejak bulan April.
“Aku sudah selesai.”
“Woah!”
Mataku terbuka mendengar suaranya di sampingku dan aku melihat Hino-kun memegang nampan.
“Ini dia.”
“Makasih…”
Aku mengambil cangkir yang dia berikan padaku. Di dalamnya, cairan berwarna kenari beriak dan menguap. Itu berbau manis.
“Baunya enak…”
Aku menyesapnya, berhati-hati agar tidak membakar lidahku, dan rasa manis lembut menyebar di seluruh mulutku. Aroma unik pasti menjadi bagian karena susunya. Itu lembut di lidah, jadi mudah diminum dan enak.
“… Teh Chai?”
“Yap. Ini menenangkan dan membantumu tidur. Karena ini efektif dalam mengurangi kelelahan, aku memasukkan madu bukannya gula.”
Hino-kun duduk di sampingku setelah mengangguk ringan seperti karyawan toko dan dia menyentuh pipiku. Dia mengelus pipiku dengan ibu jarinya seperti aku adalah seorang anak kecil dan aku mengalihkan pandanganku.
“Apa rempahnya terlalu kuat?”
“Nggak, bukan itu, ini enak…”
“Ingat saat kamu membuat kari? Kari ayam mentega. Aku memakai rempah itu sedikit.”
“Benarkah…”
Ketika aku minum, aku merasa tubuhku kehilangan kekuatan dan kelopak mataku menjadi berat.
Aku pikir itu akan sia-sia jika aku tidak meminum sisa tehnya, tapi lenganku juga berat tak berdaya dan aku tidak bisa mengangkatnya. Suara Hino-kun juga terasa seakan itu menjauh, dan nadanya seperti dia menyanyikan nina bobo.
“Oh, apa kamu mengantuk? Kalau kamu lelah, maka kamu harus tidur.”
Setelah aku entah bagaimana bisa menghabiskan teh chai tersebut, Hino-kun mengambil cangkir itu dari tanganku. Aku mencoba berterimakasih padanya, tapi aku tidak bisa membuka mulutku dengan baik. Aku terlalu lelah. Aku merasa diriku meremehkan kata-kataku.
“……Hi…no…ku……”
“Nggak papa, Igarashi-san. Kamu bisa tidur. Aku akan membersihkan semuanya saat kamu tidur, jadi jangan khawatir, oke?”
Dia menepuk kepalaku, aku merasakan sesuatu yang lembut menyentuh dahiku. Aku merasa sangat damai bahwa aku menutup mataku.
◇
“Mm… Hm?”
Rasa cahaya di hadapanku memintaku untuk membuka mata. Di atas langit-langit adalah lampu yang bukan milik kamarku.
Tapi bukannya aku tidak mengenalinya. Aku tahu bentuknya, yang terlihat seperti bunga tulip terbalik.
“Huh?”
Aku bangun sembari mencari-cari di sekitar dengan tanganku dan sesuatu jatuh dari perutku – sebuah selimut berwarna biru.
Sepertinya aku ketiduran di sofa. Aku merenungkan hal-hal seperti apakah aku punya selimut berwarna seperti ini, ketika aku mendengar Hino-kun bertanya, “Oh, kamu bangun?” di sampingku.
Aku berbalik untuk melihatnya berdiri di samping meja dapurnya. Benar, aku tertidur setelah meminum teh chai.
“Selamat pagi, Igarashi-san. Err, Kupikir harusnya ini jam 11 malam.”
Kata-katanya membuatku bergegas memeriksa waktu, dan ini benar-benar jam sebelas malam… Hari sudah akan berubah hanya dalam dua puluh menit.
Oh tidak. Aku tidur terlalu lama. Ini pasti membuatnya repot. Aku dengan cepat berdiri dari sofa.
“M-maaf, aku akan pulang sekarang!”
“Nggaaaak. Kenapa kamu nggak tinggal di sini hari ini? Ini sudah larut malam, dan kamu pasti lelah sampai tidur lama sekali, kan? Aku khawatir, jadi jangan pergi keluar lagi hari ini.”
“Tapi…”
“Oh, aku beli satu set perlengkapan untuk tinggal satu malam dari toko serba ada. Aku nggak tahu apakah ini akan pas, jadi lihatlah di kamar lain, oke? Untuk yang nggak kamu perlukan, buang saja. Karena aku sendiri nggak akan memakainya.”
Hino-kun menyerahkan tas toko serba ada dan mendesakku untuk meninggalkan ruangan. Seperti yang dia katakan, ada sebuah handuk, kemeja, celana pendek, dan sepasang dalaman, di dalamnya.
Dan, ada ukuran S, M, & L. Jadi ini yang dia maksud dengan membuangnya…
Bagaimanapun juga, setelah aku memeriksa tas itu, aku kembali ke ruang tamu dimana Hino-kun berada dan disapa dengan aroma mentega dan suara sesuatu sedang dimasak. Dia memasak sesuatu di wajan dan membalikkan matanya padaku.
“Apa kamu lapar?”
“Y-ya.”
“Kalau begitu, begitu aku selesai, ayo makan bersama. Kalau kamu mencuci dan mengeringkan kaus lengan panjangmu dan pakaian lainnya sekarang, harusnya itu akan kering saat kamu selesai mandi.”
“Nggak, aku akan memakai ini saja. Sudah malam.”
“Itu kedap suara, jadi kamu nggak perlu khawatir. Selain itu, aku tidak akan suka kalau sesuatu terjadi pada kulitmu karena apa yang kubeli. Maukah kamu mendengar keegoisanku? Tolonglah?”
Mata Hino-kun yang memohon membuat dadaku tertekan lagi dan karena aku merasa seakan aku tidak bisa tenang, aku mengalihkan tatapanku dan mengangguk.
“Ka-kalau begitu aku akan mulai mesin pencucinya… Apa kamu memiliki yang lain yang perlu dicuci?”
“Nggak. Kamu hanya perlu mencuci bajumu. Bukankah lebih cepat begitu?:
“Iya.”
Aku pergi ke ruang ganti. Aku meletakkan pakaian yang dia beli ke mesin pencuci dan memulainya.
Mesin pencuci itu adalah model terbaru, tapi Hino-kun mengajariku bagaimana menggunakannya tadi dan memberitahuku untuk menggunakannya sebagaimapun aku butuhkan. Setelah memastikan bahwa ini menyala, aku bertanya-tanya apa yang dibuat oleh Hino-kun.
Aku mencium mentega. Dan kupikir ada sedikit aroma sayuran. Dan dia menggoreng sesuatu…
Aku kembali ke ruang tamu sambil memikirkannya, untuk melihat Hino-kun selesai menghidangkan piring-piring di atas meja dengan waktu yang tepat.
Piring sup biru dan oranye berjajar di atas meja putih semi transparan. Di dalam sup berwarna krem adalah sayuran berwarna; seperti wortel, jagung, kentang, bawang, dan bayam.
“Kelihatan enak…”
“Aku menggoreng sayuran dan kemudian menambahkan susu… Aku juga membumbuinya dengan kaldu, tapi… maaf. Seperti yang kupikirkan, sepertinya buruk hanya dengan menatapnya. Ketika membuat, aku menyadari betapa luar biasanya kamu. Makasih untuk semuanya, Igarashi-san.”
“N-nggak… Aku tidak benar-benar…”
Aku tidak bisa menatap senyum lembutnya. Dia mendesakku untuk duduk di kursi dan berkata, “Aku melakukan yang terbaik untuk memasaknya, jadi maukah kamu mencobanya?”
Setelah kami berdua duduk, kamu menangkupkan tangan dalam keharmonisan sempurna.
Dia tertawa gembira, tapi aku menyambar sendokku untuk mengalihan diri dri rasa panas yang berkumpul di wajahku.
Ketika aku membawa sup itu ke mulutku, aku bisa mencium sayuran goreng dan itu lembut serta mudah untuk dimakan. Garamnya juga menyampaikan rasa betapa kerasnya dia bekerja hanya dari satu gigitan. Ini sangat lezat bahwa aku terus makan lagi dan lagi.
“Enak. Lembut, persis sepertimu.”
“Seperti diriku?”
“Iya. Ini sangat menenangkan.”
Aku tidak bisa berhenti tersenyum dan Hino-kun mneatapku dengan mata membesar terkejut. Aku berhenti makan, khawatir bahwa aku mengatakan sesuatu yang salah.
“A-ada apa?”
“…Aku hanya ingin memasang rupa dirimu yang tersenyum dan menelan makanan yang kubuat.”
“Eh-“
“Benar-benar menyentuh untuk berpikir bahwa sesuatu yang kubuat adalah bagian darimu sekarang. Karena aku selalu hanya memakan apa yang kamu buat.”
Jadi itu artinya makanan yang kubuat adalah bagian dari Hino-kun…?
Pemikiran itu membuatku bahagia. Aku bahagia karena berguna untuknya. Aku bahkan lebih ingin berguna.
“Aku selalu ingin makan makananmu, jadi aku tidak berpikir bahwa aku akan pintar memasak, tapi kalau aku bisa memberimu makanan enak, maka mungkin aku harus belajar.”
Kata-kata itu tidaklah adil. Aku merasa seakan aku akan menyalahpahaminya lagi. Dihadapanku ada sup buatan Hino-kun. Aku ingin menikmatinya dengan benar.
Setelah aku tenang, aku kembali makan makanan sup yang hangat dan lezat bersama Hino-kun.
◇
“Omong-omong, apa kamu melihat pesan di grup chat kelas?”
Setelah makan, Hino-kun dan aku duduk dengan santai di sofa berdampingan. Sepertinya dia meletakkan ponselku di atas meja, tapi aku belum menyentuhnya.
“Aku nggak melihatnya. Apa itu?”
“Sepertinya, Sasaki-san mungkin akan dikeluarkan dari sekolah.”
“Eh–“
Kata-katanya membuatku benar-benar kosong. Sasaki-san dikeluarkan…? Tidak akan ada hukuman berat seperti itu kecuali untuk sesuatu yang serius. Klub basket ditangguhkan aktivitasnya sebelum musim hujan, tapi bahkan siswa yang tertangkap minum bisa kembali ke sekolah dengan normal setelah beberapa hari.
“Dia mencuri untuk beberapa waktu. Itu ada di grup chat dari tingkat lain dan ada banyak rumor mengenai itu.”
“Tingkat lain…?”
“Iya. Aku bertanya-tabya kenapa dia punya lebih dari cukup uang untuk berkeliling meskipun nggak punya pekerjaan dan bahwa keluarga dari SMP nya yang sama adalah kelas bawah. Jadi, seorang anggota senior klub lain… klub basket? Sepertinya seorang anggota senior tim basket bercanda dan mengejarnya. Kemudian mereka mendapatkan vidio dia sedang mencuri… Apa kamu nggak tahu?”
“…Nggak. Aku tidak banyak mengenal siapapun atau bicara pada siapapun di tingkat lain.”
“Ini adalah hal baik, kan? Seseorang yang mencuri dan menghakimi orang-orang tidaklah cocok denganmu. Aku senang. Bahwa satu sudah menghilang dari sekolah.”
Hino-kun berbicara seakan dia tidak memiliki banyak ketertarikan pada Sasaki-san.
Seprtinya dia adalah seseorang yang tidak disukai ataupun dibencinya. Hanya terlalu tiba-tiba untukku merespon.
Kemudian Hino-kun terkesiap seakan dia baru mengingat sesuatu dan menanyaiku dengan suara cerah, “Mengesampingkan itu, aku punya dua kamar – sebuah kamar bergaya Barat dan sebuah kamar bergaya Jepang. Kamu bisa memakai yang kamu suka… Kamu ingin yang mana? Kamu biasanya tidur di kasur atau futon?”
T/N: Futon adalah kasur berlapis Jepang yang digelar di lantai untuk trmpat tidur.
“U-um…”
“Beritahu aku begitu kamu sudah memutuskan. Oh, kamar bergaya Barat ada kasur lipat yang belum pernah kupakai. Juga, ayah dan ibuku tidak datamg kesini, jadi kamu nggak perlu khawatir tentang itu.”
“O-oke…”
Aku mengangguk dan kemudian menyadari. Itu adalah pertama kalinya Hino-kun berbicara tentang keluarganya. Pada saat bersamaan, aku menyadari bahwa aku tidak pernah menanyakan kenapa dia tidak pernah membicarakan orang tuanya.
Melihat sekeliling ruangan, aku bisa melihat bahwa ini rapih dan beraih. Ini adalah ruang tamunya yang biasa. Tapi, seperti biasa, ini terlihat tidak hidup.
Aku pikir itu karena indah dan mewah, tapi lebih dasarnya, aku tidak merasa seperti ada orang tinggal di sini sama sekali.
Aku selalu keluar masuk ruang tamu dan dapur, tapi… Tidak ada tanda-tanda ibu atau ayahnya… atau bahkan siapapun, tinggal bersama Hino-kun.
Kenapa aku tidak menyadarinya sebelum ini…?
Dimana orang tuanya sekarang?
Aku merasa pikiranku mendidih dengan pertanyaan-pertanyaan yang ingin kutanyakan pada Hino-kun. Aku ingin bertanya padanya, tapi mungkin ada situasi tertentu.
Pertama, dia tak pernah berbicara mengenai keluarganya. Tak sekalipun sebelum ini.
Dan sekarang aku tahu bahwa dia memanggil mereka “ayah” dan “ibu”. Jadi, aku pikir dia tidak mau membicarakannya.
…Dan aku hanyalah teman sekelasnya. Jikau kamu bertanya apakah kami teman atau bukan, aku bahkan tidak akan dipertimbangkan sebagai temannya..
“Oh, itu bukannya aku punya hubungan buruk atau rumit dengan keluargaku, hanya saja mereka meninggal saat aku kecil, jadi kamu tak perlu mengkhawatirkannya.”
Hino-kun menambahkan dengan suara tak bernada yang sama yang dia gunakan untuk membicarakan keluarnya Sasaki-san. Namun, aku tertegun dengan isi pembicaraan yang sangat mengganggu. Dia tertawa.
“Itu…”
“Jangan menangis. Aku bahkan nggak tahu seperti apa mereka saar aku bayi dan aku nggak merasa sedih karena itu hal normal untuk mereka meninggal. Dan aku tidak terlalu menyukai keberadaan orang tua. Jadi aku nggak kesepian, tahu?”
Aku bisa memahami kata-katanya selanjutnya ketika dia berbicara dengan nada tertawa.
“Ayah dan ibu angkatku yang selanjutnya, atau lebih kepada, hanya ibuku yang berada dalam kesulitan. Meski kami tidak berhubungan darah, aku tetaplah anaknya, tapi dia mengatakan dia mencintaiku. Pada akhirnya, dia sakit dan meninggal tak lama setelahnya. Ayah angkatku tidak mau repot denganku, jadi dia memberiku uang, memberiku rumah ini, dan mengurung diri di pegunungan di desa. Jadi aku paling nyaman sekarang ini. Aku sangat baik-baik saja.”
“Hino-kun…”
“Kupikir itulah kenapa aku bahagia saat orang-orang mengatakan mereka menyukaiku, tapi aku juga tidak bisa tidak membencinya. Kecuali itu adalah seseorang yang kusukai, akan mustahil untuk bersama dengan seseorang seperti Sasaki-san. Karena para gadis yang menyukaiku menyerang orang-orang yang bicara padaku dan mengambil fotoku secara diam-diam, kan? Belakangan aku bermasalah bicara dengan para gadis di luar pekerjaan. Itulah kenapa kamu satu-satunya- …Igarashi-san?”
Aku terkejut dipanggil oleh Hino-kun. Aku memegang lenganku untuk menghangatkan tubuhku yang dingin dan memaksakan sebuah senyuman.
“Maaf, Hino-kun, apakah tidak masalah kalau aku memakai toilet?”
“Y-ya.”
Aku meninggalkan ruang tamu dengan cepat agar dia tidak menyadari ada sesuatu yang salah atau mendengar suaraku bergetar. Begitu aku menutup pintu, air mata mulai turun dari mataku.
Hino-kun terlika. Orang tuanya meninggal dan dia harus mengahadapi hal-hal buruk dari orang tua angkatnya. Kemudian dia bekerja keras untuk hidup sendirian. Dia pasti sangat kesakitan.
“Kupikir itulah kenapa aku bahagia ketika orang-orang mengatakan mereka menyukaiku, tapi aku juga tidak bisa tidak membencinya.”
Aku tidak bisa menyingkirkan kenangan Hino-kun yang berbicara sambil tertawa. Dadaku terasa seakan dirobek, tapi sekarang aku bisa dengan jelas memahami perasaan yang pura-pura tak kulihat.
Aku bahagia mendengar suaranya membicarakan tentang makanan enak dan melihat wajah tersenyumnya. Aku tidak bisa tenang ketika dia menyentuhku. Jantungku berdetak kencang ketika aku menatapnya. Semuanya… adalah karena aku mencintai Hino-kun.