Cinta yang Mengintai di Meja Makan

Itu hari setelah Aku menerima ajakan Hino-kun ke akuarium. Aku berdiri di pangkalan stasiun paling dekat, yang ramai karena istirahat. Ada lebih banyak orang membawa suvenir tas kertas daripada keluarga menarik tas jinjing, mungkin karena Obon dan liburan musim panas akan segera berakhir.

Awalnya dia mengatakan dia akan menjemputku dari stasiunku, tapi Aku senang Aku menolaknya. Ini berada di jarak berjalan ke sekolah kami dan masuk ke kereta yang ramai bersama pasti akan berbahaya.

Jika seseorang mengambil gambar dan mengunggahnya online, reputasinya akan anjlok.

Itu tidak seperti berjalan di distrik perbelanjaan. Meskipun Aku terbiasa dengan itu, dia adalah orang yang dikategorikan sebagai seorang entertainer.

Pastinya dia memiliki lebih banyak hal untuk diperhatikan, jadi Aku tidak bisa menambahkan kekhawatiran-kekhawatiran itu.

Aku tidak boleh membuat kesalahan dan menjadi beban untuknya.

Aku menatap bayanganku di jendela kafe di hadapanku.

Aku benar-benar khawatir harus memakai apa hari ini.

Hino-kun, bahkan ketika dia berada di dalam, selalu memakai pakaian yang bahkan seorang amatir-pun bisa mengatakan itu fashionable. Aku tidak ingin mempermalukannya dengan memakai sesuatu yang aneh. Tapi Aku juga tidak ingin terlihat Aku terlalu bersemangat.

Aku selalu menyukai makanan, tapi Aku tidak memiliki ketertarikan sedikitpun dalam pakaian sebelum ini. Standarku selalu hanya “jangan kelihatan aneh.”

Itu tidak masalah sebelum hari ini, tapi ketika Aku bersiap, Aku sangat menyesal memilih pakaian berdasarkan kriteria itu.

Jendela merefleksikan wajah gelapku dan Aku segera menyingkirkan pemikiran itu keluar dari kepalaku agar itu tidak muncul.

Aku memakai atasan sederhana dan rok panjang. Aku melihat banyak pakaian di ponselku dan memilih sesuatu yang kupikir cocok denganku, tapi Aku tidak yakin.

Mungkin celana akan lebih baik daripada sebuah rok. Ketika Aku sedang resah, seseorang meletakkan tangan di atas bahuku.

“Maaf membuatmu menunggu.”

Hino-kun menatapku. Hari ini dia memakai kacamata bergaya dan mempunyai sedikit suasana dewasa padanya. Kemeja putihnya yang menyegarkan cocok dengannya. Dia terasa seperti orang yang sepenuhnya berbeda ketika dia tersenyum padaku.

“Kamu kelihatan imut hari ini, seperti biasanya. Kalau begitu, haruskah kita pergi?”

Aku pergi mengikutinya, dipenuhi kegugupan, tapi dia mengulurkan tangannya.

“Bisakah kita bergandengan tangan?”

Ini mungkin adalah untuk latihan dramanya. Pasti. Aku dengan gugup meletakkan tanganku pada tangannya dan dia meremasnya.

“Makasih, Igarashi-san. Tolong jaga Aku hari ini.”

Hino-kun berjalan ke arah akuarium. Aku balik menggenggam tangannya, berdoa jantungku tidak akan berhenti hari ini ketika Aku berjalan di sampingnya.

Setelah lima belas menit berjalan melalui jalan utama, kamu sampai di dalam akuarium, yang berbeda dari yang kubayangkan.

Itu menyala redup, sama seperti apa yang kuingat ketika Aku berkunjung bersama keluargaku ketika Aku masih anak-anak. Tapi langit-langitnya dihias dengann lampu warna-warni yang terlihat melayang, dan tanah di bawah kakiku memilki pemetaan proyeksi yang membuatnya terlihat seprti bunga bermekaran. Semuanya juga bersinar agak biru, memberikan suasana fantasi.

“Ada pameran mingguan dan karena kita nggak ke sini sebagai anak SD untuk belajar, suasananya benar-benar berbeda. Jadi kupikir kita mungkin akan bisa berkeliling dengan tenang, Igarashi-san.”

Hino-kun mengalihkan pandangannya dari tempat sekelompok ikan kecil berenang dengan santai dan menoleh ke arahku.

Kami masih bergandengan tangan.

Aku harus menanganinya karena ini adalah latihan untuk dramanya, tapi aku tetap malu. Sebagai tambahan, ada banyak pasang orang yang kelihatan seperti pasangan, dan berdekatan dengannya itu tak tertahankan.

“Hei; lihatlah ikan itu, Igarashi-san. Itu bersinar.”

Hino-kun menunjuk ke sebuah tangki kecil. Kami berdua menatapnya lebih dekat, tapi begitu bahu kami bersentuhan, Aku langsung menjauh.

“Ada apa? Kamu benci ikan?”

“N-nggak.”

“Kalau begitu, kamu nggak bisa melihat kalau kamu nggak mendekat. Lihatlah, lebih mudah melihat dari sini.”

Hino-kun menarik tanganku dan mempersempit lagi jarak di antara kami.

Dia menatap ikan itu dengan keingintahuan dan aku bisa melihat cahaya dari tangki tersebut ter-refleksi dalam mata hitamnya. Rasa panas terkumpul di pipiku dan tiba-tiba Aku merasa gugup hingga tanganku yang tertaut berkeringat.

“Hino-kun.”

“Hm?”

“Bukankah kita harus berhenti bergandengan…? Aku mungkin b-berkeringat sekali.”

Matanya menurun ke arah tangan kami yang terhubung. Aku memastikan bahwa Aku hanya memegang tangannya dengan ringan ketika dia balik mendongak.

“Nggak sama sekali. Lebih ke, tangamu dingin dan nyaman, jadi nggak papa. Jadi jangan khawatir. Oh, aku nggak berkeringat, kan? Apakah tidak masalah?”

“Eh, kamu nggak masalah, Hino-kun, tapi…”

“Kalau begitu ayo. Lihat, ada pameran jellyfish. Aku suka jellyfish,” dia berkata dan berjalan ke depan.

Karena kami masih bergandengan tangan, Aku mengikuti di belakangnya, hampir seperti Aku ditarik.

“Aku tidak benar-benar tertarik pada jellyfish sebelumnya, tapi Aku sungguh menyukainya ketika kamu memasaknya dengan timun sebelumnya.”

“Ohh…”

Sekarang ini, Hino-kun tertarik pada jellyfish sebagai makanan…?

Aku tidak melihat akuarium seperti itu. Ikan untuk dilihat dan ikan untuk dimakan itu berbeda. Tapi matanya berkilau ketika dia menatap jellyfish di dalam akuarium bulat besar.

“Lezat, Aku bertanya-tanya ada berapa banyaknya.”

Mungkin Hino-kun menyukai makanan lebih dariku…

Setelah mellirik pada wajahnya yang tersenyum cerah, Aku menatap jellyfish yang mengapung di tangki.

Jellyfish yang setengah transparan itu berenang di bawah sumber cahaya berwarna merah, ungu, kuning, dan hijau. Beberapa jellyfish iyu disinari oleh cahaya yang sangat berwarna dan menarik perhatian orang-orang, sedangkan yang lainnya tidak tersinari dan hanya melayang ke sekitar.

Aku tebak Hino-kun… juga berada di bawah berbagai cahaya seperti itu.

Melihat pameran itu membuatku agak sedih, tapi di sampingku, Hino-kun berbisik tentang sebuah prasmanan makan-sepuanya itu membuatku merasa bertentangan. Pembedan dia antara sesuatu untuk dilihat dan sesuatu untuk dimakan kelihatannya samar. Dia terlihat seperti dia sedang berada di bagian ikan sebuah supermarket.

Aku harus membeli banyak jellyfish dan membuat salad China besok…

Setelah memutuskan itu, Hino-kun menarik lenganku dan berkata, “Ayo lihat cumi-cumi di sana.”

Mungkin dia ingin itu direbus… atau sesuatu…?

Bagaimanapun, Aku memutuskan bahwa besok Aku akan membuat cumi rebus dan salad China dengan jellyfish ketika Aku mengelilingi akuarium bersama Hino-kun.

Sembari masih bergandengan tangan dengan Hino-kun, kami berjalan ke sebuah restoran yang terhubung dengan akuarium.

Ketika kami berjalan dengan pelan di sekitar ruanng pameran, kami memutuskan untuk makan siang di sini.

Sebenarnya ini sudah lewat makan siang. Puncak kemacetan sudah berlalu, jadi meskipun ini adalah hari libur, kantinnya lumayan kosong. Kami datang di waktu yang tepat.

“Kamu ingin makan apa, Igarashi-san?”

“Hmm… kari, kupikir? Museum dan galeri seni itu berbeda, tapi karena kita datang ke sini, Aku nggak bisa nggak menginginkan kari.”

Entah bagaimana, Aku merasa rasanya akan berbeda dari restoran lain. Aku sering memesan kari ketika Aku datang ke restoran yang tertera di tempat-tempat seperti ini karena itu rasanya mirip dengan kari yang biasa kumakan di sekolah saat makan siang.

“Apa lagi?”

“Apa lagi? Um… Aku nggak tahu.”

Itu akan tergantung pada apa yang ada di menu… Mungkin ramen atau sesuatu…?

Aku lebih memilih makan ramen di musim panas daripada di musim dingin. Mungkin karena tiap kali Aku pergi ke kolam renang atau pantai ketika masih kecil, kami akan makan ramen untuk makan siang.

Ayahku berkata bahwa ramen adalah yang terbaik setelah kamu banyak berkeringat… Jadi sekarang ketika Aku memikirkan musim panas, Aku akan memikirkan ramen juga.

“Kupikir ramen.

“Kalau begitu, bagaimana dengan Aku memesan ramen dan kamu juga bisa memakan separuhnya?”

“Nggak ada yang ingin kamu makan, Hino-kun…?”

“Ya. Semuanya kecuali makanan yang kamu buat rasanya sama. Kari dan ramen nggak akan ada bedanya.”

“A-aku tidak tahu…”

Hino-kun kelihatan yakin, tapi kari dan ramen benar-benar berbeda. Rasanya juga akan sangat berbeda… Keduanya asin, tapi mi dan nasi berbeda.

Apapun selain yang apa yang kubuat rasanya sama…

Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya hingga begitu.

Lagipula, Aku tidak berpikir kondisinya bagus sekarang ini. Aku biasanya membuat sedikit lebihan kalau-kalau dia lapar di pagi hari, dan belakangan ini dia makan dengan benar, tapi tetap…

Mungkin akan baik jika dia pergi ke rumah sakit satu kali. Ketika Aku sedang memikirkan itu, sebuah suara cerah memanggil, “Oh, Yousuke?”

Tangan kami yang terhubung langsung terpisah. Aku berputar ke arah suara untuk melihat Sasaki-san dan beberapa teman kelas lainnya. Mereka terlihat berbeda dengan saat mereka di sekolah, tapi Aku mengenali mereka sebagai perempuan dan laki-laki dari kelas kami.

Kawauchi-kun juga di sana. Karena Sasaki-san adalah bagian dari klub basket perempuan, ini mungkin adalah perkumpulan klub basket.

Sasaki-san berlari ke arah Hino-kun, tapi memiringkan kepalanya ketika dia melihatku.

“Oh, kenapa kamu bersama dengan Yousuke, Igarashi-san~?”

“Um…”

Sasaki terlihat lebih tidak senang daripada bingung.

Yang lain menatap tajam semua padaku. Kawauchi-kun sendiri kelihatan seperti dia hanya tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi itu hanya masalah waktu sebelum dia mendorong tatapan tak percayanya ke arahku.

Aku harus mengatakan sesuatu secepatnya atau mereka akan salah paham.

“Sebenarnya-“

“Aku datang ke sini bersama k-keluargaku, tapi kemudian aku terpisah dari mereka, tapi lalu Hino-kun, Aku melihat Hino-kun.”

Meskipun Aku kecewa, Aku mencoba yang terbaik untuk memikirkan sebuah alasan dan meyakinkan Sasaki-san.

Aku tiba-tiba menyadari bahwa Aku memotong Hino-kun, tapi ini mungkin tidak apa-apa. Aku mengepalkan tanganku ketika para gadis di sekitar berkata, “Sungguh,” dan kemudian suasana tegang itu melembut.

“Aku tidak pernah melihat mereka berbicara di kelas, jadi Aku terkejut untuk berpikir bahwa mereka mungkin pergi keluar.”

“Kamu tahu, ini lebih seperti mereka tidak berhubungan sama sekali.”

Tapi Sasaki-san sendiri kelihatan tidak percaya ketika dia menatapku dengan kosong.

Bagaimanapun, Aku harus pergi dari tempat ini. Ini akan buruk jika rumor mulai menyebar dan menghalangi pekerjaan Hino-kun.

Ketika Aku mundur selangkah, Sasaki-kun menatapku dengan tatapan tajam.

“Tapi, Igarashi-san dan Yousuke tidak cocok sama sekali. Lihat saja suasana mereka. Lihat, Yousuke adalah tipe yang tampan, tapi Igarashi-san adalah tipe yang pucat… Maksudku, tipe dewasa. -Maaf, Aku nggak bermaksud mengatakannya.”

Nada dingin dingin dari kalimat terakhirnya menusuk hatiku.

“Y-ya. Itu…”

Aku mencoba untuk setuju dengan Sasaki-san, tapi hatiku sakit. Itu berbeda dengan ketika Aku berbicara dengan Hino-kun. Ini sakit karena Aku menyedihkan.

Apa yang dia katakan benar. Dia benar, tapi karena ini terasa seakan dia memaksa membuatku mendengarkan sesuatu yang tidak ingin kudengar, Aku dipenuhi dengan keinginan untuk melarikan diri.

“U-um, mungkin Aku harus kembali untuk mencari orang tua, orang tuaku… Dah.”

Aku memutar tumitku dan pergi, mengarah ke koridor ramai.

Aku berbalik untuk sebentar untuk melihat Hino-kun menatapku dengan keterkejutan, tapi Aku melarikan diri dari sana, merasa menyesal.

Di kejauhan, Aku bisa melihat lumba-lumba terbang di langit dan melompat melewati lingkarang sebelum mencebur kembalu ke air.

Aku menonton dari belakang dua barisan kursi terakhir, di tempat yang bahkan tidak bisa disebut lorong.

Setelah Aku melarikan diri dari semua orang, Aku tidak tahu harus pergi ke mana. Aku pergi ke toilet, tapu Aku akan menghalangi jika Aku menetap di sana, jadi Aku datang ke sini. Sudah beberapa saat berlalu sejak saat itu.

Aku berpikir meninggalkan akuarium, tapi bertemu Sasaki-san dan yang lainnya setelah Aku mengatakan Aku datang bersama orang tuaku membuatku takut.

Di belakangku adalah karyawan pintu masuk dan semua orang menatap lumba-lumba, jadi ini lebih mudah untukku membuat alasan karena berada fi sini daripada di puntu masuk.

Jika Sasaki-san dan yang lainnya datang untuk melihat lumba-lumba, maka Aku harusnya bisa segera pergi tanpa mereka menyadariku.

Aku menghela nafas dan menatap ke kaki-ku. Aku banyak memeriksa untuk memastikan bahwa sepatuku cocok dengan pakaianku dan tidak terlihat aneh.

Sama dengan atasanku, rok-ku, tasku, dan gaya rambutku. Tapi hal yang tidak cocok adalah fakta bahwa Aku bersama dengan Hino-kun.

Sasaki-san yang lainnya semua menatapku dengan aneh, dan Aku mungkin telah menyebabkan masalah untuk dia hari ini hanya karena kebetulan Aku beruntung. Ketika Aku memikirkannya, Aku merasa sangat menyesal dan menyedihkan.

“Haah…“

Apa yang harus kulakukan sekarang? Waktu tutup akuariumnya adalah pukul 8 malam. Sekarang pukul 2. Sasaki-san dan yang lainnya harusnya tidak berada di sini sampai waktu tutup.

Harus kapan Aku pergi agar tidak bertemu mereka? Mungkin akan lebih baik untuk menunggu sampai waktu tutup. Baru ketika Aku menyalakan ponselku lagi, Aku merasakan seseorang menarik pergelangan tanganku.

“Aku menemukanmu…”

“Ap-“

Ada tangan yang hampir tidak memegang pergelangan tanganku.

Aku menatap ke belakang untuk melihat bahwa itu, tanpa kesalahan, adalah Hino-kun. Dia bernafas dengan kasar ketika dia menatap kuat padaku, hampir seperti pelototan.

“H-Hino-kun…?”

“Syukurlah…”

Aku bisa melihat betapa leganya kelihatannya Hino-kun ketika dia membenarkan pernafasannya. Ada keringat di dahinya dan Aku merasakan betapa sangat panas tangannya dari tempat di menggenggam pergelangan tanganku. Mungkinkah – tidak, jangan bilang dia mencariku…?

“…Apa kamu mencariku…?”

“Bukankah itu jelas? Maksudku, kamu harusnya tidak meninggalkanku. Sulit untuk mencari tepatnya dimana kamu berada di dalam ruangan… Aku cuma tahu bahwa kamu masih di sini.”

“Y-ya, Maaf…”

Sulit untuk mencari di dalam ruangan…? Tidak, bagaimanapun juga, Aku perlu minta maaf kepada Hino-kun. Aku mencoba untuk membungkuk, tapi dia menggelengkan kepalanya.

“Kamu nggak perlu minta maaf. Itu karena Aku berada di sana bahwa wanita itu dan anggota basket… Aku benar-benar minta maaf kamu harus menghadapi itu. Aku akan melakukan sesuatu mengenai mereka, Aku janji.”

Hino-kun membungkuk. Aku mencoba menghentikannya, tapi dia tidak akan mengangkat wajahnya. Ketika Aku menyentuh bahunya untuk memaksanya berdiri tegak, dia akhirnya bertemu tatapanku.

“Aku sungguh minta maaf… Aku tidak tahu mereka akan datang ke sini hari ini… Harusnya Aku mencari tahu itu juga… Mereka benar-benar mengatakan apapun yang mereka inginkan, seperti omong kosong itu tentang kamu yang biasa saja.”

“Tidak, kamu nggak perlu minta maaf, Hino-kun. Lihat, benar bahwa Aku bukanlah orang liar biasa sepertimu, jadi itu tidak bisa dihindari. Ini jelas.”

“Ini bukanlah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Mereka hanya iri padamu. Mereka hanya frustasi karena mereka tidak bisa mengalahkanmu. Kamu nggak pucat sama sekali dan kamu tidak pantas disebut seperti itu oleh mereka.”

Pengakuan kuat Hino-kun membuat hatiku tenang, seperti apa yang kurasakan sebelumnya adalah kebohongan.

Dia berada di dunia yang berbeda denganku. Meskipun Aku masih memahami itu, lubang yang disebabkan oleh kata-kata Sasaki-san terkubur dan rasa sakit di dadaku menghilang.

“Aku paling membenci dia… Dia membuatmu kelihatan seperti orang bodoh selain membuatmu tidak nyaman. Aku berharap dia mati.”

“I-itu…”

“Dia lebih baik mati. Aku harap dia mati sekarang… sekarang…!”

Wajah Hino-kun berubah piuh ketika suaranya mengambil nada seakan dia menggumamkan sebuah kutukan. Aku takut untuk menyentuhnya karena Aku tidak tahan melihatnya seperti itu, tapi dia mengistirahatkan dahinya di bahuku. Aku bisa merasakan rasa panas dari dahinya berpindah ke punggungku.

“Jangan tinggalkan aku lagi.”

“Eh…”

“Aku benar-benar membencinya saat kamu lari, Igarashi-san. Ketika Aku mencarimu, Aku takut mengenai apa yang akann terjadi kalau Aku tidak akan pernah mendengar suaramu lagi. Ketika Aku berpikir kamu menelantarkanku dan tak pernah bisa melihatmu lagi… Aku sedih sekali. Tolong, jangan lagi.”

Hino-kun berbicara dalam suara yang serak ketika dia meremas pergelangan tanganku. Kedengarannya dia akan menangis, dan aku diserang dengan keterkejutan dan rasa bersalah.

“Aku benar-benar minta maaf, Hino-kun.”

“Kamu nggak perlu minta maaf, berjanji saja padaku untuk tidak pergi lagi.”

“…Oke, Aku janji.”

“Sungguh?”

“Iya.”

“Dan kalau kamu berbohong…?”

Suaranya berbeda dari sebelumnya. Sekarang itu terdengar seakan dia mengujiku.

“Kalau itu terjadi, apa kamu akan mendengarkan satu hal yang kutanyakan?” Dia bertanya padaku, “Satu hal saja, tapi itu bisa apa saja. Aku akan baik-baik saja kalau kamu setuju.”

“Oke, Aku paham. Aku setuju.”

“…Katakanlah.”

Dia mengangkat kepalanya dari bahuku dengan senyuman. Matanya terlihat seakan menghalau semua cahaya. Perasaan tak alami terhadap tatapannya yang tidak kelihatan kekanakan maupun dewasa membuatku merasa gelisah.

“Um…”

“Kalau begitu, ayo lanjutkan kencan kita. Mau menonton lumba-lumba?”

Sembari masih memegang pergelangan tanganku, Hino-kun menarikku ke arah tempat duduk untuk menonton. Dia sepertinya berada dalam suasana hati yang baik. Kami berjalan ke kursi bersama ketika dia terlihat seakan dia baru saja menyadari sesuatu.

“Hino-kun?”

“Perhatikan kakimu, Igarashi-san. Aku hampir terpeleset barusan dan membawamu bersamaku.”

“Oke, Makasih… Aah–“

Aku tiba-tiba merasakan tarikan kuat di lenganku. Ketika Aku dengan cepat berputar ke Hino-kun, cahayanya terhalang dan Aku merasakan sesuatu yang lembut di bibirku.

Aku baru mengedip ketika bibir Hino-kun menekan bibirku.

Mungkinkah ini…

Ketika Aku akhirnya memahami situasinya, Aku memisahkan diriku dari Hino-kun. Dia memiliki ekpresi terkejut yang sama di wajahnya ketika dia dengan cepat meminta maaf.

“Kupikir kamu akan jatuh jadi Aku menarikmu, tapi… Maaf, Aku menarik terlalu kencang… Apa kamu baik-baik saja? Apa bibirmu terluka? Aku benar-benar minta maaf. Aku tidak menyangka akan menabrakmu… Apakah sakit? Aku tidak melihat darah, tapi apa kamu merasa sakit?”

“Um, A-aku tidak apa-apa. Apa kamu terluka?”

“Aku tidak terluka. Maaf, Igarashi-san. Sungguh. Apa yang harus kulakukan agar kamu memaafkanku? Um, A-aku punya tisu disinfektan, kalau kamu mau? Atau kamu mau mencuci wajahmu di kamar kecil?”

“Nggak, nggak papa… Omong-omong, um, makasih karena menghentikanku jatuh.”

Hino-kun terlihat seakan dia menyesal dari dasar hatinya, seperti dia telah melakukan sesuatu yang tak akan pernah bisa ia ambil kembali. Dia panik.

Aku mengulangi bahwa itu tidak masalah lagi dan lagi untuk menenangkannya, tapi itu tidak baik-baik saja sama sekali. Tidak mungkin Aku akan baik-baik saja. Karena itu adalah …

“Kalau begitu, um, mau menonton pertunjukan lumba-lumba…? Maaf, kali ini Aku akan mencoba untuk tidak menarikmu. Aku nggak akan melakukan sesuatu yang kamu nggak suka.”

Tapi ketika Aku melihat Hino-kun mengekspresikan permintaan maafnya secara lahiriah seratus kali lebih dari yang kulakukan, Aku memaksa diriku untuk menekan badai di hatiku dan menuju ke penonton dengannya, mengulanginya tidak apa-apa. Meskipun itu tidak baik sama sekali.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected.

Options

not work with dark mode
Reset