Cinta yang Mengintai di Meja Makan

“Ayo pergi ke kantin, Mizuka-chan!”

“Tentu.”

Keesokan harinya, Aku mengeluarkan bekal dari tasku dan mengikuti teman sekelasku, Meina-chan, ke koridor.

“Kuharap kita bisa mendapatkan kursi dekat jendela hari ini! Cuacanya bagus!” Meina-chan berkomentar sembari dia berjalan. Aku mengangguk.

Rambut hitamnya diikat ke atas menjadi dua sanggul, memberikan kesan dirinya adalah orang yang tegas, tapi kami dengan cepat menjadi teman begitu orientasi siswa kami selesai.

Aku khawatir tentang mencari teman ketika aku masuk SMA, tapi Aku tenang ketika tempat duduk kami bersebelahan dan kami bisa berada dalam kelompok yang sama.

Meina-chan memilih pergi ke kantin, jadi kami membawa bekal kami ke sana dan sudah ke kantin selama seminggu terakhir.

“Oh ya, di TV depan stasiun, Aku melihat sebuah toko yang khusus menjual peralatan memasak dari luar negeri buka di pusat perbelanjaan baru.”

“Eh? Benarkan?”

Peralatan memasak dari luar negeri… Aku sangat tertarik! Aku ingin pergi ke sana sekarang!

“Setelah Aku melihatnya di TV, kupikir Aku harus memberitahumu. Karena kamu suka memasak, kan?”

“Iya! Terimakasih, Meina-chan!”

“Sama-sama. Um, ada kuali edisi terbatas juga? Sebuah panci kecil yang mereka jual untuk merayakan pembukaan toko mereka… Itu bisa digunakan untuk apa?”

“Itu bisa digunakan sebagai wadah segala jenis setelah pemanggangan.”

“Oh begitu! Kamu seperti pegawai toko saja!”

Kami sampai di kantin sembari berbicara. Para siswa mengantre di dekat mesin tiket makan di depan pintu. Menu makan siang hari ini sepertinya adalah makanan China. Aku pergi ke tengah kerumunan, memikirkan akan betapa lezatnya lumpia itu, ketika Meina-chan berhenti.

“I was wondering what the crowd was about. It’s Hino-kun again.”
“Aku bertanya-tanya kerumunan apa itu. Itu Hino-kun lagi.”

Dia memiringkan kepala ke arah gunungan orang. Mengikuti arah pandangnya, Aku bisa melihat bahwa hampir semua yang ada di kerumunan itu adalah perempuan. Mereka berkumpul di sekitaran seseorang seperti sebuah barikade. Dan Hino-kun duduk di tengah mereka.

“Apakah kamu akan menerima kue muffin yang kubuat untukmu saat kelas memasak hari ini, Yousuke-kun~?”

“Eh- tidak adil! Aku juga akan memberikan satu untukmu! Oke?”

“Maaf. Agensiku mengatakan Aku hanya bisa menerima makanan yang dibeli dari toko dan bukan buatan tangan, jadi Aku tidak bisa menerimanya.”

Hino-kun sedang makan roti manis sembari ditawari kue muffin dari semua sisi. Dia berwajah mekanikal, seakan ia disuruh makan. Dia kelihatannya tidak menikmati makanannya atau menganggapnya tidak enak sama sekali. Mungkin dia tidak suka makan.

…Mungkin dia adalah seseorang yang tidak merasa bahagia ketika makan.

Tapi sepertinya memang terlihat sulit untuk makan sembari dikelilingi oleh begitu banyak orang. Tidak ada yang bisa menikmati makanan mereka pada situasi itu. Dia pasti sepopuler itu jika Miya-chan mengatakan dia bahkan tudak bisa membeli majalahnya.

As I was spacing out while staring at him, Hino-kun turned to me. Elated voices rose up from behind me.
Saat Aku melamun sembari menatapnya, Hino-kun berbalik ke arahku. Suara-suara gembira terdengar dari belakang.

“Nggak mungkin! Dia menatapku!”

“Lihat ke sini lagi!”

Mengingat kembali, dia selalu dikelilingi oleh orang-orang saat pagi dan istirahat. Bahkan pergi ke kamar kecil sepertinya sulit.

Dia benar-benar sepopuler itu. Aku sedikit iri karena akan ada lebih banyak kesempatan untuk makan makanan enak jika Aku populer, tapi sepertinya itu punya kesulitannya sendiri.

“Ada spot kosong di sana. Ayo.”

Meina-chan menunjuk ke arah tempat duduk di beranda yang sepi. Aku memunggungi Hino-kun dan kelompoknya, dan mengikuti Meina-chan.

Bekal hari ini adakah sisa tumisan dengan pasta, lobak rebus, dan telur dadar dengan udang sakura. Hari ini Aku punya satu hidangan pendamping lebih sedikit dari pada biasanya, tapi ini sempurna karena kami punya kelas memasak di siang hari.

Aku mengikuti Meina-chan sambil merasa bersemangat untuk bisa segera makan.

♢♢♢

Setelah makan siang, Aku meninggalkan Meina-chan dan melewati koridor untuk ke kamar kecil.

Lunch break had ended and cooking class was about to begin. The lesson for today was baking muffins.
Istirahat makan siang sudah berakhir dan kelas memasak akan dimulai. Pelajaran hari ini adalah memanggang kue muffin.

Sulit untuk berpindah antara makanan dan kelas memasak, entah itu di pagi hari atau siang hari. Jadi semua kelas membuat makanan yang sama, berisi makanan manis atau ringan. Aku bahagia saja punya kelas measak, tapi pasti itu adalah hal sulit untuk mereka yang tidak suka makanan manis.

Pokoknya, Aku menantikan kelas memasak.

I turned the corner in a good mood when suddenly I saw prints fluttering to the ground like the cherry blossoms I saw yesterday. But there were many people there yesterday, unlike right now.
Aku berbalik ke sudut dalam suasana hati yang baik ketika Aku melihat cetakan-cetakan kertas beterbangan ke tanah seperti sakura yang kulihat kemarin. Tapi kemarin ada banyak orang, tidak seperti sekarang ini.

A male student… Hino-kun, was standing there staring at the ground with a slightly shocked expression. Apparently the contents of the clear file in his hand fell out.
Seorang siswa… Hino-kun, sedang berada di sana menatap ke tanah dengan ekpresi yang sedikit terkejut. Sepertinya isi dari berkas bening di tangannya jatuh.

“Ah–“

Ketika dia melihatku, dia segera mulai memungut kertas-kertasnya. Aku juga membantunya mengumpulkan itu dengan cepat.

Alasanku berbicara kemarin sore ada tepat di hadapanku.

I felt strange. I’ve never spoken to Hino-kun before. And he could speak openly with anyone without pretending or drawing lines.
Aku merasa aneh. Aku belum pernah berbicara dengan Hino-kun sebelumnya. Dan dia bisa bicara secara terbuka dengan siapapun tanpa berpura-pura atau menjaga jarak.

Tapi dia selalu dikelilingi oleh gadis-gadis imut dan modis. Siswa kami sepertinya menghubungkan situasinya dengan “Haremnya Shogun” dari teks kuno. Mereka kelihatannya iri dan tiba-tiba Aku menenukan diriku berpikir betapa sulitnya menanganinya.

“Aku melamun, maaf…!”

“Tak perlu khawatir.”

Orang-orang di sekitar Hino-kun mungkin bisa dikategorikan dalam tiga tipe. Mereka yang ingin dekat dengannya, yang iri padanya, dan mereka yang sepertiku, yang tidak ingin terlibat.

Semua dalam wajahnya seakan dalam proporsi bagus. Kudengar itu “bagus” untuk memiliki tubuh semampai dengan aura yang agak dewasa, tapi Aku tidak ingin secara khusus dekat dengannya.

Jika dia adalah koki profesional dengan banyak tayangan memasak, Aku mungkin akan menatapnya iri. Aku bahkan mungkin memohon padanya untuk mengajariku caranya, jika Aku berani.

Ketika Aku menatapnya, Aku berpikir bagaimana Aku adalah orang yang selalu memikirkan tentang memasak dari pada gebetan.

“Terimakasih, Igarashi-san. Kamu benar-benar membantuku. Ini adalah kertas penting yang diminta oleh guru untuk kukumpulkan…”

Hari ini tak berbeda. Aku tidak dilanda ketertarikan terhadap Hino-kun meskipun Aku dekat dengannya.

Miya-can mengatakan tidak ada yang tidak akan jatuh cinta terhadapnya setelah bertemu dengannya, tapi itu terdengar menyeramkan. Ketika memikirkan itu, tangan kami bersentuhan, mungkin karena kami mengambil kertas yang sama.

Dia memegang tanganku dan kertas itu.

“Um…”

Tanpa adanya tanda untuk melepaskan, Aku mendongak menatap mata hitam Hino-kun yang dalam dibalik rambut coklat pucatnya.

Entah bagaimana Aku merasa mata itu mendekatiku, tapi Aku menemukan bahwa Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku. Akhirnya, dia berdiri dengan pandangan dingin nan kosong, dan tersenyum lembut.

“Terimakasih telah mengambil kertas-kertas ini. Maaf telah menyia-nyiakan waktumu yang berharga, Igarashi-san.”

“Tidak… Bukan begitu…”

Ketika Aku menyerahkan kertas-kertas itu, Aku bisa melihatnya memegang catatan yang dikumpulkan hari ini bersama sebendel tebal kertas.

Kenapa dia tidak meminta orang untuk membantunya? Gadis-gadis di sekelilingnya pasti akan bekerja demi dirinya. Menatap ke koridor, Aku tidak bisa melihat orang lain kecuali kami.

“Apa kamu butuh bantuan membawa catatan-catatan itu…?”

Aku tidak secara proaktif mencoba untuk melibatkan diri, tapi bagaimanapun kamu melihatnya, ini terlalu banyak untuk dibawa satu orang. Aku dengan ragu bertanya padanya, dan dia bertanya, “Apa kamu yakin?” dengan khawatir.

“Iya, kelihatannya sulit, jadi kalau kamu tidak masalah denganku…”

“Makasih, Igarashi-san. Kalau begitu tolong bantu Aku sampai kita tiba di ruang staf.”

Aku mengangguk dan menerima kertas-kertas itu dari Hino-kun sebelum kami mulai berjalan ke ruang staf. Dia berjalan di sampingku, berkata, “Kau benar-benar menyelamatkanku, Igarashi-san.” Saat itulah Aku menyadari sumber ketidaknyamananku.

Kenapa dia tahu namaku?

Kami tidak pernah memperkenalkan diri di kelas. Di SMP, kami akan berdiri dekat papan tulis dan menyebutkan nama serta hobi kami di depan seluruh orang untuk tiap kelas. Tidak ada hal seperti itu di SMA, jadi di kelasku Aku hanya mengenal si selebriti Hino-kun, dan temanku Meina-chan, dan teman masa kecilnya.

Ketika Aku sedang bingung, Hino-kun bertanya, “Igarashi-san, kan?”

“Ya, Aku Igarashi.”

“Aku senang. Selama sedetik kupikir Aku membuat kesalahan,” kata Hino-kun dengan senyum lega. Mungkin dia mengingat nama-nama teman sekelasnya.

“Um, apa kamu ingat semua nama teman kelas kita?”

“Nggak, Aku bahkan belum bisa mengingat separuhnya. Bagaimana denganmu?

“Cuma teman-teman yang berbicara denganku…”

“Sonomura-san, kan?”

Dia bilang dia hanya tahu separuhnya, tapi dia kelihatannya tahu lebih dari itu.

Kemarin Miya-chan mengatakan bahwa ia mulai berakting selain pekerjaan modelingnya dan dia akan berada dalam sebuah drama musim gugur nanti.

Dia akan bermain sebagai seorang tokoh yang mencintai kakak kelasnya. Sepertinya ada sebuah “adegan ciuman pertama” juga. Miya-can sangat iri terhadap hal itu.

Aku tidak tahu banyak tentang pertelevisian, tapi dia harus mengingat keseluruhan naskah, jadi dia pasti cepat mengingat nama-nama dari itu.

“Yap. Kamu hebat dalam mengingat hal-hal, Hino-kun.”

“Sama sekali bukan begitu. Aku lebih pelupa dan sangat buruk dalam mengingat nama.”

Dia merendah. Ingatannya pastu baghs jika dia ingat namaku, yang bahkan tidak menonjol seperti Meina-chan.

Tapi dia mungkin masih akan merendah jika Aku mengatakannya. Masih ada sedikit jarak hingga kami sampai ke ruang staf. Aku tidak ingin ada keheningan canggung yang aneh. Sembari memikirkan hal untuk dibicarakan, Aku berpikir dramanya mungkin akan jadi topik bagus.”

“Kudenhar dramamu akan ditayangkan pada musim gugur. Luar biasa.”

“Eh… Apa kau juga tertarik pada hal itu, Igarashi-san?

“Yea, um, seorang temanku adalah penggemarmu. Itu luar biasa bahwa kau bisa membintanginya.”

“Begitu,” Hino-kun berujar dan menunduk. Aku merasa sedikit kewalahan membicarakan drama tersebut, tapi sekarang Aku lebih tenang.

“Meskipun Aku…”

Aku berhenti setelah mendengarnya menggumamkan sesuatu. Dia mengambil dua langkah lagi sebelum berputar dan bertanya, “Ada apa?”

“Bukan apa-apa,” Kataku dan segera kembali berjalan.

Baru saja, Hino-kun kedengarannya agak palsu, tanpa perubahan suara atau perasaan.

Apa yang dia maksud dengan mengatakan hal itu? Aku tidak paham.

“Aku senang bertemu denganmu. Aku tidak akan bisa membawa ini tanpamu. Makasih.”

“Eh… U-umm, tidak masalah.”

Kami sampai di ruangan staf sebelum Aku menyadarinya. Hino-kun mengambil kertas-kertas yang kupegang dan berkata, “Di sini saja” dengan tawa.

“Makasih untuk hari ini, Igarashi-san.”

“Sama-sama. Um… Dah, Hino-kun.”

“Ya, sampai jumpa nanti.”

Merasakan dingin dari suaranya, Aku mendongak. Tapi Hino-kun dengan lembut tersenyum seperti sebelumnya. Tak ada tanda kesedihan atau kegelapan.

Aku meninggalkan Hino-kun, masih merasa sedikit gelisah.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected.

Options

not work with dark mode
Reset